Ribuan demonstran di ibu kota Georgia kembali berkumpul di gedung parlemen pada hari Selasa (3/12). Mereka melampiaskan kemarahan terhadap keputusan partai yang berkuasa untuk menangguhkan negosiasi untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Seperti lima malam sebelumnya, polisi antihuru-hara menggunakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan massa, yang balik melempar polisis dengan petasan. Massa membentuk barikade di jalan raya utama Tbilisi. Sekitar 300 pengunjuk rasa telah ditahan, dan 26 orang, termasuk tiga orang polisi, telah dirawat di rumah sakit karena luka-luka.
“Semakin banyak kekerasan yang mereka gunakan, orang-orang akan semakin marah, karena setiap orang yang mereka tangkap memiliki kerabat, dan setiap orang memahami bahwa ini adalah ketidakadilan. Dan tidak mudah untuk menerima ketidakadilan. Saya yakin bahwa, pada akhirnya, rezim ini akan runtuh,” ujar Tamar Kordzaia, anggota kelompok oposisi Gerakan Persatuan Nasional.
Rusudan Chanturia, seorang pengunjuk rasa yang datang berdemo pada Selasa, menegaskan, “Sangat penting bagi saya untuk berdiri di sini karena kami berjuang untuk demokrasi kami, untuk melindungi hak asasi manusia, martabat manusia. Jadi, kami akan tetap kuat, dan Georgia tidak akan pernah menjadi bagian Rusia. Itulah posisi kami. Kami sangat tangguh, dan kami akan tetap kuat.”
Partai Georgian Dream yang berkuasa mempertahankan kendali parlemen dalam pemilihan parlemen 26 Oktober yang disengketakan, yang secara luas dipandang sebagai referendum atas aspirasi Georgia untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Para pengunjuk rasa memegang poster bertuliskan “Kami kuat dan tidak akan pernah menyerah dalam menghadapi penindasan. Georgia tidak akan pernah menjadi Rusia.”
Pihak oposisi dan presiden yang pro-Barat menuduh partai yang berkuasa memanipulasi suara dengan bantuan negara tetangga, Rusia, dan memboikot sidang parlemen. [lt/ab]
Forum