“Saya korban tapi saya disalahkan. Saya korban dan saya disuruh diam. Katanya nama baik organisasi lebih penting dari harga diri saya.”
Begitulah orasi Chicilia, seorang mahasiswi, di depan peserta aksi IWD Kota Bandung, Minggu (8/3) siang.
Chicilia sedang menjaga kawannya di rumah sakit, ketika seorang laki-laki kenalannya memeluk tubuhnya dan mencium leher Chicilia tanpa persetujuan.
Namun orang-orang malah menyalahkan pakaian yang dia kenakan.
“Bukan masalah baju saya, tapi gimana cara otak kalian yang mandang. Jangan salahkan tubuhku, tapi kalian yang melanggar otoritas tubuhku,” pekiknya disambut tepuk tangan peserta aksi.
Pelaku adalah senior Chicilia sendiri di salah satu universitas swasta di Kota Bandung. Selama setahun kasus ini berjalan, pelaku tidak pernah meminta maaf dan akhirnya lulus pada Oktober 2019.
Nama Baik Masih Jadi Alasan Bungkam
Chicilia menemukan sejumlah korban dari pelaku yang sama. Namun mereka enggan bersuara karena ingin menjaga nama baik.
“Tapi teman korban-korban yang lain nggak bersedia. Alasannya malu, karena menurut mereka itu aib. Alasan kedua, adalah nama baik dia dan nama baik organisasinya.
Karena itu, Chicilia meminta pihak kampus lebih tegas terhadap pelaku pelecehan dan kekerasan seksual.
“Kalau memang dibilang ingin menjaga nama baik kampus, beri tindak tegas pelaku-pelaku yang melecehkan atau memperkosa. Itu baru namanya menjaga nama baik kampus,” tegasnya.
Pelecehan dan kekerasan seksual masih menjadi fokus dalam IWD 2020.
Bermula dari kekerasan terhadap Agni di Universitas Gadjah Mada, kasus demi kasus terus terungkap di berbagai kota seperti di Medan, Semarang, dan Bandung.
Sayangnya upaya untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual saat ini masih macet di DPR.
Karena itu, aksi IWD yang digelar di sejumlah kota—seperti Jakarta, Bandung, dan Medan—kompak mendesak pemerintah mengesahkan beleid tersebut.
PR Lama Masih Ada, Muncul Tantangan Baru
Ketika kekerasan seksual masih terjadi, IWD 2020 justru menghadapi tantangan baru.
Ana dari Kumpulan Wanoja Ngalawan (Kawan) mengatakan, perempuan semakin tersudutkan dengan kehadiran RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Salah satunya adalah penghapusan cuti haid. Karena itu, ujar dia, buruh dan mahasiswa harus menolaknya.
“Bahwa itu adalah sesuatu yang akan merugikan dan memudahkan penindasan terhadap buruh perempuan, utamanya untuk semakin menindas lagi,” ujarnya kepada VOA di lokasi aksi.
Selain itu, pihaknya juga menolak RUU Ketahanan Keluarga yang sedang digodok di DPR. Sebab, ujar Ana, RUU itu mengurung perempuan dalam peran domestik.
“Dengan adanya RUU Ketahanan Keluarga, (perempuan) identik dengan dapur sumur dan kasur. Padahal perempuan bisa lebih daripada itu,” ujarnya seraya menambahkan perempuan bisa berkiprah dalam bidang apa pun.
IWD (Hari Perempuan Internasional) diperingati setiap 8 Maret di seluruh dunia sejak 1911. IWD menjadi ajang untuk menuntut hak-hak perempuan, menghapus diskriminasi, dan menghentikan kekerasan. [rt/em]