Ribuan orang berduyun-duyun menuju Freedom Plaza di pusat kota Washington, D.C., Sabtu (13/1) siang, untuk menuntut gencatan senjata di Gaza dan penghentian aliran bantuan Amerika Serikat (AS) untuk Israel. Mereka ingin Pemerintah AS mengambil tindakan untuk menghentikan serangan Israel yang telah menewaskan sedikitnya 23.000 penduduk Gaza, sebagian besarnya warga sipil, menurut kementerian kesehatan Hamas.
“Israel melakukan genosida, membunuh rakyat Palestina dengan uang pajak AS. Semua bom, semua uang yang diberikan AS kepada Israel adalah uang rakyat biasa,” kata Kathy Boylan, pengunjuk rasa asal Washington.
Perempuan lanjut usia yang mengaku pernah ke Tepi Barat dua dekade lalu untuk menunjukkan dukungannya kepada warga Palestina itu tidak rela uang pajak yang ia berikan kepada pemerintah justru digunakan untuk membantu Israel membombardir Jalur Gaza.
“Saya mengajak semua orang untuk menolak membayar satu sen pun kepada pemerintah federal AS yang membuat kita terlibat genosida,” ungkapnya.
Berbeda dengan Kathy yang sudah berulang kali berdemonstrasi di ibu kota AS, Sabtu itu adalah pertama kalinya Ayesha Rizvi turun ke jalan di Washington. Ia datang bersama suami dan putrinya yang berusia tiga tahun di tengah cuaca berangin D.C. dengan suhu sekitar tujuh derajat Celcius.
“Ketika perang Irak terjadi, kami masih terlalu muda untuk benar-benar memahami jumlah korban yang jatuh. Sedangkan kini, ketika saya akhirnya sudah cukup dewasa, saya melihat ketidakadilan yang sama terjadi lagi,” ujar Ayesha, perempuan keturunan Pakistan yang lahir, besar dan kini tinggal di New Jersey.
Media sosial, menurutnya, berperan besar menggugah masyarakat untuk mengambil sikap terkait isu Gaza – juga sikap pemerintah, pada gilirannya.
“Sekarang Anda bisa melihat di TikTok, YouTube, ada banyak sekali video yang bisa ditonton tentang rumah sakit yang dibom, anak-anak yang tidak diberi morfin dengan wajah yang terbakar. Tidak mungkin Anda bisa menyembunyikan itu semua,” imbuhnya, “Fakta bahwa seluruh dunia sedang mengawasi membuat mereka berubah sikap.”
Ayesha dan keluarganya membawa poster berisi pesan “Apa yang akan Anda rasakan jika 23.000 warga Amerika tewas terbunuh? Gencatan senjata di Gaza sekarang juga!”
Bagi Sandra Campbell, pengunjuk rasa lain, hal tergenting yang harus segera dilakukan saat ini adalah jaminan perlindungan bagi rumah-rumah sakit di Gaza, yang oleh WHO disebut sudah tidak ada yang berfungsi. Itu sebabnya ia membawa poster bertuliskan “Save Gaza’s Hospitals,” alias “Selamatkan Rumah-rumah Sakit di Gaza.”
“Melumpuhkan sistem rumah sakit sipil adalah sebuah kejahatan perang besar-besaran, atau kejahatan terhadap kemanusiaan, dan ini sangat melumpuhkan masyarakat. Maka itu, menurut saya, (menjamin perlindungan rumah sakit) merupakan salah satu prioritas utama selain bantuan pangan, bahan bakar, serta obat-obatan agar orang tidak lagi harus diamputasi tanpa anestesi, atau bahkan operasi caesar tanpa anestesi. Sungguh memalukan jika itu didukung oleh AS,” jelas Sandra yang asli Seattle, Washington kepada VOA.
Pemerintah AS sendiri belakangan memberi isyarat yang membingungkan terkait sikap mereka menghadapi serangan Israel di Gaza. Senin (8/1) lalu, Presiden Joe Biden mengaku sedang mengerahkan segala upaya untuk meminta Israel mengurangi operasi dan mengeluarkan pasukan mereka dari Gaza dalam jumlah yang signifikan. Hal itu ia sampaikan setelah pengunjuk rasa pro-Palestina menyela pidatonya di Gereja Bunda Emanuel AME, Charleston, untuk menuntut gencatan senjata.
Namun di sisi lain, sehari setelahnya, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengatakan kepada VOA bahwa pemerintahan Biden masih mendukung “jeda kemanusiaan, bukan gencatan senjata,” dan bahwa sang presiden tidak memberi isyarat perubahan apa pun.
Dari Seluruh Amerika
Di tengah lautan bendera Palestina yang dikibarkan massa di seantero dan sekeliling lapangan Freedom Plaza, yang terletak satu blok dari Gedung Putih, terdapat sejumlah diaspora Indonesia yang ikut serta menyuarakan aspirasi mereka, mendukung gencatan senjata di Gaza dan perjuangan rakyat Palestina, salah satunya Nona Rudianto, pensiunan yang berdomisili di Los Angeles, California, yang berjarak lima jam penerbangan dari Washington, D.C..
“Saya ke sini memang khusus untuk ikut rally yang sekarang ini,” katanya.
Nona datang bersama sembilan kawannya. Ia tergerak untuk hadir langsung di ibu kota AS untuk mendukung aksi bertajuk March on Washington for Gaza, karena berempati pada penderitaan rakyat Palestina di daerah kantong itu, apalagi sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
“Saya punya cucu, jadi saya bisa merasakan itu,” ungkapnya.
Menurut jajak pendapat nasional Quinnipiac University yang diterbitkan 20 Desember lalu, meski simpati bagi warga Israel masih tinggi (49%, turun dari 61% pada hasil survei 17 Oktober), simpati bagi warga Palestina di kalangan warga AS meningkat, dari 13% pada survei tanggal 17 Oktober, menjadi 24% pada survei terakhir.
Dwi Budi Sayekti, diaspora Indonesia yang tinggal di Dallas, Texas, datang bersama suami dan anaknya. Ia menyambut baik pergeseran tren itu.
“Bukan hanya kaum Muslim saja, bahkan Kristen, Yahudi juga, ikut berpartisipasi dalam pergerakan ini, dalam memberantas genosida di Palestina, di Gaza terutama," katanya.
Sementara itu, Aria Prima Novianto, Presiden Indonesian Muslim Society in America (IMSA), mengatakan bahwa sebagian diaspora Indonesia yang sudah menjadi warga negara AS merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Gaza, karena menganggap AS memiliki andil besar dalam krisis tersebut. Aria pun mengorganisir anggotanya yang berminat hadir ke Washington, D.C. untuk berpartisipasi dalam aksi: sebagian menggunakan pesawat, sebagian lain menggunakan bus.
“Mudah-mudahan dengan terus-menerus kita mengadakan ini, menekan pemerintahan Biden atau anggota Kongres setempat dan sebagainya, sedikit demi sedikit ada perubahan dan pada akhirnya demi perdamaian dan juga demi keselamatan rakyat Palestina dan Gaza,” ungkap Aria, yang bermukim di Champaign, Illinois.
Aksi March on Washington for Gaza itu digelar sehari setelah Israel menolak tuduhan genosida yang dilayangkan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional. Israel justru menyebut komitmen Afrika Selatan terhadap kemanusiaan terasa hampa karena dinilai tidak melegitimasi keberadaan Israel selama 75 tahun terakhir.
“Dalam penjelasannya yang kontrafaktual mengenai konflik Israel-Palestina, (Afrika Selatan) tampaknya menghapus baik sejarah Yahudi maupun tanggung jawab Palestina,” kata Tal Becker, pengacara Israel, di hadapan mahkamah, Jumat (12/1).
Di samping itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Kamis (11/1) mengatakan, “Hari ini, lagi-lagi, kita menyaksikan dunia yang jungkir balik, di mana Negara Israel dituduh melakukan genosida ketika justru sedang memerangi genosida.”
Unjuk rasa yang diselenggarakan American Muslim Task Force for Palestine dan sejumlah kelompok lainnya itu merupakan aksi unjuk rasa besar kedua yang diadakan di Washington. Dalam aksi hari Sabtu, orasi disampaikan secara bergantian oleh banyak pihak, dari direktur eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam Nihad Awad hingga mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Josh Paul, yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintahan Biden yang mendukung serangan balasan Israel terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober lalu.
Aksi diakhiri dengan pawai menuju Gedung Putih – kantor sekaligus kediaman Presiden Biden. [rd/ah]
Forum