Udara dingin tidak menyurutkan ribuan perempuan memadati Reflecting Pool yang terletak diantara Lincoln Memorial dan Monumen Nasional di Washington D.C., untuk mengikuti “Women’s March,” Sabtu (20/1).
Seperti tahun lalu, peserta “Women’s March” sebagian besar mengenakan topi berbentuk kepala kucing berwarna pink menyala, selendang atau scarf dengan warna sama, dan membawa poster dan spandung bernada protes.
“Time Is Up”, “My Body My Rights”, dan “I am Not Political Pawn” adalah beberapa poster yang mereka bawa. Tidak sedikit yang membawa boneka berhias simbol-simbol protes, baik tentang persamaan ras, perlindungan bagi para imigran, kecaman terhadap beberapa kebijakan pemerintah Trump, pengendalian senjata api, hingga keputusan menghentikan sebagian operasi pemerintah.
Jumlah demonstran di Ibu Kota Washington D.C., tampak lebih sedikit dibandingkan aksi serupa pada 2017, tetapi bisa jadi hal ini karena pusat aksi “Women’s March” tahun ini dipindahkan ke Kota New York, yang sejak pagi dipadati oleh lebih dari 150 ribu demonstran.
Aksi serupa juga berlangsung di sejumlah kota besar di seluruh Amerika, antara lain Philadelphia, Chicago, Denver di Colorado, Charlotte di North Carolina, kota-kota besar California seperti, Sacramento, Los Angeles, San Jose, San Fransisco dan Oakland, Newark di Delaware, Atlanta di Georgia, Honolulu di Hawaii, dan kota-kota lainnya. Las Vegas baru akan menyelenggarakan demonstrasi ini, Minggu (21/1).
Suara Perempuan
Ditemui VOA, Akira, seorang demonstran berusia 24 tahun yang berdarah Jepang dan sudah menjadikan Amerika sebagai “rumah,” mengatakan, ia datang karena ingin agar suaranya didengar.
“Saya datang ke sini karena saya seorang perempuan, saya seorang imigran, dan saya ingin suara saya didengar,” kata Akira, yang datang ke Amerika bersama kedua orang tuanya saat baru berusia tiga tahun.
“Orang boleh bilang saya orang Jepang dan saya mencintai Jepang, tetapi Amerika adalah “rumah saya,” kata Akira menegaskan. Dia menyuarakan kekecewaannya atas kebijakan pemerintah Amerika yang ingin mengusir para imigran.
“Mereka hanya ingin punya masa depan lebih baik. Mengapa mereka harus diusir?,” kata Akira, yang tidak termasuk peserta penerima Penangguhan Tindakan Terhadap Anak-anak Imigran Ilegal atau DACA.
Meski tidak menerima DACA, Akira mengaku bisa merasakan situasi yang menimpa para imigran muda penerima DACA.
“Ketika melihat banyak imigran terancam terusir, ini sangat menyedihkan. Apalagi jika mereka tumbuh dan besar disini seperti saya, dan hanya tahu Amerika sebagai satu-satunya “rumah” bagi kami,” ujar Akira yang kini tinggal di Maryland dan bekerja sebagai ahli hukum.
Hal senada disampaikan Claire, seorang warga Virginia berusia 28 tahun. Claire datang ke Washington D.C sejak pagi untuk mengikuti “Women’s March” ini.
“Saya senang bisa datang kesini dan meyakinkan diri saya bahwa saya tidak sendiri. Begitu banyak orang, bukan hanya perempuan, yang punya pandangan yang sama dan siap berjuang bersama-sama,” kata Claire. “Tidakkah Anda merasa kita punya banyak pekerjaan rumah?. Apalagi dengan pemerintahan sekarang ini, kita bukannya maju, malah mundur,” ujar Claire, warga Amerika keturunan Afrika yang sedang menyelesaikan pendidikan master di bidang kesehatan.
Trump: “Women’s March” Rayakan Terobosan Bersejarah
Presiden Donald Trump, Sabtu, mencuit tentang “Women’s March” dengan mengatakan, “cuaca sangat indah di seluruh negara kita yang besar ini, hari yang tepat bagi semua perempuan untuk berpawai. Datanglah untuk merayakan terobosan-terobosan bersejarah, keberhasilan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan kesejahteraan yang terjadi dalam 12 bulan terakhir ini. Tingkat pengangguran perempuan terendah dalam 18 tahun!”
Tokoh Perempuan Hadir di “Women’s March”
Sejumlah tokoh perempuan ikut menjadi pembicara pada “Women’s March” di Washington D.C., antara lain aktivis imigran yang juga pemimpin Arizona Dream Coalition, Erika Andiola, anak tertua petinju terkenal Muhammad Ali, Maryum Ali, yang juga dikenal dengan julukan May May, Presiden Koalisi Nasional Partisipasi Warga Sipil Kulit Hitam Amerika, Melanie L. Campbell, mantan pemimpin faksi Demokrat di DPR Nancy Pelosi, hingga bintang film terkenal America Ferrera, Ashley Judd, dan Scarlett Johansson.
Nancy Pelosi dalam sambutannya mengatakan para demonstran, khususnya perempuan, yang ikut dalam “Women’s March” hari ini, ingin mengirim pesan yang sangat kuat bahwa “perempuan siap bertarung di pemilu dan menduduki posisi-posisi pengambil keputusan, agar ada kebijakan yang lebih pro-perempuan.” Ia juga memasang pesan di Twitter bagi mereka yang tidak sempat menghadiri acara itu.
Perempuan Siap Bertarung di Pemilu Legislatif 2018
Bertarung untuk menduduki posisi pengambil keputusan menjadi salah satu target banyak perempuan di Amerika tahun ini.
Centre for American Women and Politics mengatakan sedikitnya ada 390 perempuan yang telah mendaftar atau akan mendaftar untuk menjadi calon anggota parlemen, sementara 49 perempuan lainnya siap bertarung memperebutkan kursi di Senat. Diantara para kandidat di DPR itu, 82 persen bukan petahana. Jika angka-angka ini tidak berubah, maka akan menjadi calon anggota perempuan di Kongres adalah yang terbesar dalam sejarah Amerika. Berada di posisi pengambil keputusan dinilai merupakan faktor penting bagi tercapainya kebijakan-kebijakan yang lebih pro-perempuan.
Aksi “Women’s March” juga berlangsung di Roma, Italia; Kampala, Uganda; Frankfurt, Jerman; dan Osaka, Jepang. Aksi serupa juga direncanakan akan digelar di Beijing, China; Buenos Aires, Argentina; dan Nairobi, Kenya. [em]