Puluhan ribu warga Argentina melakukan unjuk rasa di Buenos Aires pada Kamis (16/9), menuntut perbaikan ekonomi. Argentina pada saat ini sedang menghadapi situasi yang sulit karena jumlah pengangguran dan kemiskinan serta inflasi di negara tersebut terus meningkat.
Unjuk rasa tersebut terjadi ketika koalisi pemerintahan Presiden Alberto Fernandez mengalami kekalahan yang cukup menyesakkan dalam pemilihan umum awal menjelang pemilihan parlemen pada November. Hasil pemilihan umum awal tersebut mengancam jumlah mayoritas senat berkuasa dari koalisi pemerintah.
Kelas pekerja di Argentina menuntut pekerjaan dan peningkatan subsidi pangan di tengah krisis ekonomi, yang keadaanya diperparah oleh pandemi virus corona. Krisis tersebut telah menyebabkan 42 persen dari total populasi penduduk sebesar 45 juta berada dalam kemiskinan.
"Saya tidak mendukung atau menentang pemerintah... kami ingin bekerja, kami ingin pabrik beroperasi," seorang pengunjuk rasa, yang bernama Gisela mengatakan pada AFP. Ia merupakan ibu dari tiga orang anak.
Akibat resesi yang sudah berlangsung sejak 2018, Argentina memiliki salah satu tingkat inflasi tertinggi di dunia - 32 persen dari Januari hingga Agustus – dengan hutang sebesar $44 miliar kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Argentina harus membayar sejumlah $1,9 miliar dari hutang tersebut yang jatuh tempo bulan ini dan $1,9 miliar lagi pada Desember 2021.
Negara Amerika Latin itu mengalami penurunan PDB 9,9 persen pada tahun lalu.
Pemerintah pada Kamis (16/9) memperkirakan pertumbuhan ekonomi empat persen untuk tahun 2022 dan inflasi sebesar 33 persen.
Selama akhir pekan lalu, koalisi kiri-tengah Frente de Todos yang berkuasa mengumpulkan kurang dari 31 persen suara menjelang pemilihan parlemen yang dijadwalkan pada 14 November mendatang untuk memperbarui setengah dari kursi di Chamber of Deputies dan sepertiga dari kursi di Senat.
Aliansi itu memiliki jumlah mayoritas di Senat, yang ingin dipertahankannya dan sekaligus berharap meraih hal serupa di majelis rendah.
Pemungutan suara pada Minggu (12/9) bertujuan memilih kandidat untuk pemilihan umum November nanti, namun pemungutan suara itu juga juga dianggap sebagai barometer antusiasme warga pada pemilu yang akan datang.
"Saya tidak tahu mengapa mereka (pihak berwenang) terkejut, Anda dapat melihat mereka tidak tinggal di lingkungan kami karena siapa pun dapat melihatnya: kemarahan atas kurangnya pekerjaan dan pendidikan," kata seorang pengunjuk rasa, Eduardo Belliboni kepada AFP.
Menanggapi sejumlah protes, Fernandez mengatakan pemerintahnya berutang beberapa "jawaban" kepada rakyat di negara itu. (mg/jm)