Hujan gerimis tidak menyurutkan semangat demonstran di pusat kota Tokyo.
Ribuan warga Jepang turun ke jalanan di ibukota, melampiaskan rasa frustrasi atas langkah pemerintah yang mengoperasikan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN, Jum'at (6/7).
Awal pekan ini, untuk pertama kalinya sejak krisis kebocoran tiga reaktor nuklir akibat gempa bumi dan tsunami 11 Maret 2011, Jepang mengoperasikan kembali PLTNnya.
Unjuk rasa tersebut berlangsung dengan tertib selama dua jam. Para demonstran meneriakkan "Saikado Hantai", slogan menentang pengoperasian kembali reaktor nuklir sambil membawa payung.
Salah satu reaktor di pabrik nuklir Oi, yang memasok listrik untuk wilayah metropolitan Osaka, mencapai batas kritis awal pekan ini. Ini menandai dimulainya kembali pengoperasian PLTN di Jepang untuk pertama kali sejak bencana di PLTN Fukushima Nomor 1, 15 bulan lebih yang lalu.
Pemerintah Jepang berpendapat Jepang kekurangan sumber daya dan perusahaan pembangkit listrik reaktor nuklir harus dioperasikan kembali setelah dilakukan pemeriksaan keselamatan menyeluruh untuk menghindari kemungkinan pemadaman bergilir pada musim panas ini.
Selain itu, pengoperasian PLTN ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap impor gas alam cair, batu bara dan bahan bakar mahal lainnya untuk pembangkit listrik konvensional.
Banyak warga dan bahkan beberapa anggota parlemen Jepang mengungkapkan keraguannya, dengan mengatakan kekhawatiran tentang laba dan ekonomi telah mengabaikan pertimbangan keamanan.
Seorang ibu rumah tangga di Tokyo, Setsuko Naoe mengatakan ia merasa terdorong untuk berdemonstrasi karena para pejabat tidak belajar dari kebocoran Fukushima.
Naoe menyesalkan media Jepang, terutama radio Jepang NHK yang semi pemerintah, tidak sungguh-sungguh melaporkan protes, tapi ia mengatakan hal itu tidak akan mematahkan semangat orang-orang yang bersikap sama dengan dirinya.
Meskipun demonstrasi hari Jumat merupakan salah satu yang terbesar di Tokyo dalam beberapa dekade, NHK hanya melaporkan berita mengenai unjuk rasa tersebut selama 20 detik dalam acara berita televisi pukul sembilan malam yang berdurasi 40 menit.
Bagi Mitsukazu Asakawa, demonstrasi ini mengingatkan pada protes menentang Perjanjian Keamanan AS-Jepang yang dihadirinya lebih dari 50 tahun yang lalu.
Menurut Asakawa, sejak tahun 1960, di Jepang belum pernah terlihat demonstrasi jalanan sebesar itu, yang juga berlangsung di lokasi yang sama. Namun demonstrasi ini berbeda, karena tidak terdiri dari orang-orang muda yang radikal, melainkan adalah bagian dari gerakan akar rumput yang beragam.
Sebuah laporan yang dikeluarkan parlemen Jepang, Kamis (5/7) berdasarkan dengar pendapat selama 900 jam dan hasil wawancara dengan sedikitnya 1.200 orang, telah menyimpulkan bahwa bencana Fukushima merupakan kecelakaan yang dapat dihindari.
Ribuan warga Jepang turun ke jalanan di ibukota, melampiaskan rasa frustrasi atas langkah pemerintah yang mengoperasikan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN, Jum'at (6/7).
Awal pekan ini, untuk pertama kalinya sejak krisis kebocoran tiga reaktor nuklir akibat gempa bumi dan tsunami 11 Maret 2011, Jepang mengoperasikan kembali PLTNnya.
Unjuk rasa tersebut berlangsung dengan tertib selama dua jam. Para demonstran meneriakkan "Saikado Hantai", slogan menentang pengoperasian kembali reaktor nuklir sambil membawa payung.
Salah satu reaktor di pabrik nuklir Oi, yang memasok listrik untuk wilayah metropolitan Osaka, mencapai batas kritis awal pekan ini. Ini menandai dimulainya kembali pengoperasian PLTN di Jepang untuk pertama kali sejak bencana di PLTN Fukushima Nomor 1, 15 bulan lebih yang lalu.
Pemerintah Jepang berpendapat Jepang kekurangan sumber daya dan perusahaan pembangkit listrik reaktor nuklir harus dioperasikan kembali setelah dilakukan pemeriksaan keselamatan menyeluruh untuk menghindari kemungkinan pemadaman bergilir pada musim panas ini.
Selain itu, pengoperasian PLTN ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap impor gas alam cair, batu bara dan bahan bakar mahal lainnya untuk pembangkit listrik konvensional.
Banyak warga dan bahkan beberapa anggota parlemen Jepang mengungkapkan keraguannya, dengan mengatakan kekhawatiran tentang laba dan ekonomi telah mengabaikan pertimbangan keamanan.
Seorang ibu rumah tangga di Tokyo, Setsuko Naoe mengatakan ia merasa terdorong untuk berdemonstrasi karena para pejabat tidak belajar dari kebocoran Fukushima.
Naoe menyesalkan media Jepang, terutama radio Jepang NHK yang semi pemerintah, tidak sungguh-sungguh melaporkan protes, tapi ia mengatakan hal itu tidak akan mematahkan semangat orang-orang yang bersikap sama dengan dirinya.
Meskipun demonstrasi hari Jumat merupakan salah satu yang terbesar di Tokyo dalam beberapa dekade, NHK hanya melaporkan berita mengenai unjuk rasa tersebut selama 20 detik dalam acara berita televisi pukul sembilan malam yang berdurasi 40 menit.
Bagi Mitsukazu Asakawa, demonstrasi ini mengingatkan pada protes menentang Perjanjian Keamanan AS-Jepang yang dihadirinya lebih dari 50 tahun yang lalu.
Menurut Asakawa, sejak tahun 1960, di Jepang belum pernah terlihat demonstrasi jalanan sebesar itu, yang juga berlangsung di lokasi yang sama. Namun demonstrasi ini berbeda, karena tidak terdiri dari orang-orang muda yang radikal, melainkan adalah bagian dari gerakan akar rumput yang beragam.
Sebuah laporan yang dikeluarkan parlemen Jepang, Kamis (5/7) berdasarkan dengar pendapat selama 900 jam dan hasil wawancara dengan sedikitnya 1.200 orang, telah menyimpulkan bahwa bencana Fukushima merupakan kecelakaan yang dapat dihindari.