Menteri Sosial Tri Rismaharini diminta untuk blusukan ke panti-panti sosial, terutama yang merawat penyandang disabilitas mental atau "Orang Dengan Gangguan Jiwa" (ODGJ). Pasalnya, dalam beberapa hari terakhir muncul pemberitaan yang mengungkap sebaran Covid-19 di dalam panti sosial semakin merajalela. Desakan itu disampaikan aktivis sejumlah lembaga yang peduli dengan isu kesehatan jiwa.
Salah satunya, Andreas Harsono dari Human Rights Watch. Dalam paparan kepada media pada hari Kamis (7/1), Andreas meminta Risma blusukan untuk melihat langsung kondisi panti. Pada 2018, HRW telah menyusun laporan bagaimana praktik pemasungan masih terjadi di Indonesia. Praktik itu diyakini berlangsung sampai kini, dan memperburuk kondisi kesehatan ODGJ yang rentan terkena Covid-19.
“Kami minta Bu Risma, menteri sosial yang baru untuk blusukan ke panti-panti. Kami sudah berkali-kali, bertahun-tahun minta keadaan panti-panti ini diperiksa dan setiap ada kerangkeng harus dibebaskan, dan ini masih banyak. Sekali lagi, untuk blusukan masuk ke panti-panti dan jalankan hukum Indonesia. Pasung harus dilarang. Orang yang punya disabilitas psikososial harus ke dokter, harus berobat. Sediakan obatnya,” kata Andreas.
Pemasungan Menambah Rentan
Andreas mengatakan, Indonesia sudah melarang pemasungan bagi ODGJ sejak tahun 1977. Namun, menurut data pemerintah, pada Juli 2018 masih ada 12.800 orang yang dipasung. Pada tahun 2017 bahkan sudah ada nota kesepahaman antara Kemensos dengan Kepolisian Indonesia. Di dalamnya disebutkan, bahwa polisi bisa bertindak untuk membebaskan orang yang dipasung.
Namun praktik pemasungan terus terjadi, terutama di rumah ODGJ dan panti milik swasta. Begitu pula penempatan ODGJ dalam kerangkeng. Mereka tinggal di dalam ruang kecil dengan ventilasi kecil bersama sejumlah ODGJ lain dan kemungkinan dirantai.
“Pemerintah punya kampanye pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. Nah orang-orang ini tidak punya akses kepada sabun, kepada air, hal mendasar dalam kesehatan, bagaimana mau cuci tangan. Jangan tanya juga soal masker,” tambah Andreas.
Masukan Sejak Awal Pandemi
Para aktivis mengatakan desakan ini sudah disampaikan sejak bulan-bulan awal Indonesia mencatatkan kasus Covid-19. Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat mengingat, pada Juni 2020 mereka sudah mengirim surat ke pemerintah ketika 18 orang di sebuah panti layanan sosial di Jawa Tengah terinfeksi virus corona.
“Kami sudah sampaikan peringatan kepada pemerintah agar berhati-hati karena di berbagai negara, penularan bisa terjadi di nursing home, baik disabilitas maupun panti untuk lansia,” kata Yeni.
Yeni mengingatkan, perhatian lebih besar harus diberikan ke panti yang dikelola swasta. Secara umum kondisi panti swasta cenderung lebih buruk dibanding yang dikelola pemerintah.
Jika ingin mencari padanan operasional yang paling mendekati dengan apa yang terjadi di panti, kata Yeni, bisa melihat Lembaga Pemasyarakatan (LP). Bedanya, menurut Yeni, sejak awal pandemi, LP di Indonesia, sudah berusaha menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Pemerintah bahkan membebaskan ribuan narapidana untuk mencegah merebaknya Covid-19 di lingkungan penjara yang padat.
“Pencegahan penyebaran virus di dalam penjara, dilakukan jauh lebih serius daripada pencegahan virus di panti sosial. Tentunya ini sangat kita sesalkan. Hal ini sudah kami laporkan berkali-kali ke Kementerian Sosial, termasuk ke menteri sosial, melalui surat terbuka ke Presiden yang di-cc ke Mensos,” tambah Yeni.
Yeni mencatat, selama ini menteri sosial di Indonesia kurang memberikan perhatian kepada penyandang disabilitas, terutama disabilitas mental dan disabilitas sosial. Mereka berharap, Risma sebagai menteri yang baru tidak lagi mengecewakan dan memberikan perhatian serius ke panti-panti. Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab, baik itu untuk panti yang dikelola pemerintah sendiri maupun swasta.
Selama ini, kementerian dan dinas berkilah, tidak mampu memantau panti swasta. Seharusnya, kata Yeni, sebagaimana skema sekolah, Kementerian Pendidikan dan dinas-dinas terkait tetap mampu mengontrol sekolah, baik negeri maupun swasta.
Sepuluh Tuntutan
Membacakan surat tuntutan dari para aktivis ini, Muhammad Hafiz dari Human Rights Working Group mengurai sejumlah kasus di berbagai daerah, di mana panti menjadi klaster Covid-19. Sejak awal pandemi, koalisi masyarakat sipil yang peduli telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Mereka meminta pencegahan dan penanganan kasus Covid-19 di panti-panti sosial disabilitas mental. Namun, nampaknya tidak banyak yang dilakukan pemerintah.
“Koalisi juga pernah melaksanakan pertemuan dengan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk merespons hal ini dan KSP sudah mengkoordinasikan ke sejumlah Kementerian dan Pemerintah Daerah, tetapi sepertinya Pemerintah Pusat dan Daerah belum memiliki titik temu tentang pengelolaan, penanganan, dan pengawasan panti-panti tersebut,” ujar Hafiz.
Hafiz menambahkan, situasi panti sosial seharusnya menjadi perhatian serius dalam penanganan dan pencegahan kasus Covid-19. Hal itu mengingat kapasitas, sanitasi, dan gizi di dalam panti relatif tidak layak.
“Petugas yang keluar masuk tanpa melakukan protokol kesehatan yang ketat, bangunan panti yang cenderung tertutup, sanitasi yang buruk dan gizi yang tidak memadai, hingga pemasungan atau perantaian yang masih terjadi, sangat berpotensi meningkatkan risiko penyebaran virus di dalam panti sosial,” kata Hafiz.
Karena itulah, para aktivis ini menyampaikan sepuluh butir tuntutan kepada pemerintah. Pertama, memastikan semua petugas panti menjalankan protokol kesehatan seperti tenaga kesehatan di rumah sakit. Kedua, memastikan kebijakan pencegahan penularan Covid-19 diterapkan di panti-panti sosial. Ketiga, melakukan tes swab dan rapid test antigen berkala bagi penghuni dan petugas panti. Keempat, moratorium penambahan penghuni panti.
Tuntutan kelima, memastikan penghuni yang terpapar Covid-19 mendapat perawatan maksimal dan layak. Keenam, memenuhi kebutuhan nutrisi, vitamin, dan sanitasi yang layak. Ketujuh, membuat mekanisme pengawasan panti yang transparan dan melibatkan organisasi penyandang disabilitas.
Kedelapan, mencari alternatif solusi menangani penyandang disabilitas mental yang tidak berbentuk panti. Kesembilan, Menteri Sosial baru untuk memperhatikan kasus ini dengan ‘blusukan’ ke panti-panti. Terakhir, memasukkan petugas dan penghuni panti dalam prioritas pemberian vaksinasi karena mempertimbangkan kerentanannya
Lembaga yang menandatangani seruan ini adalah Perhimpunan Jiwa Sehat, Human Rights Watch, Human Rights Working Group, LBH Masyarakat dan Indonesia Judicial Research Society. [ns/ab]