Ada banyak syarat yang ditetapkan untuk menerapkan kelaziman baru (new normal). Masih ada sisa waktu bagi pemerintah daerah, untuk mempersiapkan diri memasuki era yang diwacanakan pusat itu. Salah satunya adalah kesiapan rumah sakit untuk menyediakan layanan karena mungkin menerima pasien lebih banyak sebagai konsekuensi kelaziman baru.
Meskipun belum mengambil langkah formal, daerah mulai mempersiapkan diri. Langkah ini misalnya dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Gugus Tugas Penanganan Covid-19 setempat. Juru bicara tim ini, dr. Sri Wahyu Joko Santoso menerangkan, rumah sakit di daerah itu mungkin akan diminta untuk meneruskan layanan dalam format lebih tetap.
“Memang yang dijadikan ruang isolasi sekarang ini, nantinya akan jadikan permanen. Itu sudah ada pembicaraan ke arah sana. Tapi kapasitasnya berapa, terus kemampuannya sekarang belum dipastikan,” kata dokter yang biasa dipanggil Oky ini.
Sejauh ini, Bantul memiliki lima rumah sakit rujukan kasus virus corona. Belum ditentukan, dari kelimanya, rumah sakit mana yang akan dijadikan rujukan utama. Tetapi setiap rumah sakit diharapkan memiliki ruangan khusus untuk untuk pengelolaan kasus ini di kemudian hari. Oky menjelaskan, infeksi corona kemungkinan ke depan akan ditangani secara reguler sebagaimana kasus penyakit lain, seperti jantung.
Edukasi Pegang Peranan
Oky tidak menampik dugaan, bahwa di era kelaziman baru, masyarakat memegang kunci pencegahan penularan. Mereka harus bisa menjaga diri sendiri dan keluarganya dari potensi penularan virus corona. Edukasi juga menjadi program penting menuju kelaziman baru ini.
“Kalau dia memang akan melakukan suatu kegiatan yang beresiko, untuk dipikir sebaik-baiknya. Kalau dia terpaksa melakukan kegiatan yang beresiko, maka dia harus secara sadar menjaga agar dia tidak menularkan kepada orang lain,” kata Oky.
Di sisi lain, pemerintah daerah memiliki tugas untuk menerapkan aturan dan sanksi yang tegas, terkait pemakaian masker dan anjuran menjaga jarak. Mengenai siapa yang akan berperan dalam penegakan aturan ini, menurut Oky, perbincangan masih terus dilakukan.
Ketika ditanya apakah daerah siap menerapkan kelaziman baru, Oky dengan tegas menyatakan kesanggupan. Ukuran kesanggupan itu, tandasnya, didasarkan pada edukasi masyarakat agar berperilaku sesuai yang disyaratkan. Jika kelaziman baru membawa resiko tambahan kasus, tambah Oky, penyiapan rumah sakit menjadi prioritas yang dilakukan bersamaan.
Peresmian Unit Khusus Corona
Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Senin (8/6) meresmikan dua unit gedung di komplek Rumah Sakit Akademik Universitas Gajah Mada (RSA UGM) Yogyakarta sebagai rujukan perawatan pasien virus corona.
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) gedung ini berhasil diselesaikan dalam waktu 37 hari sejak 20 April. Rektor UGM Panut Mulyono menjelaskan, sebelumnya, UGM memang telah membangun dua unit gedung itu sejak 2009. Ketika pandemi terjadi, UGM mengajukan dua gedung tersebut untuk dijadikan rujukan khusus kasus corona dan kemudian disetujui pemerintah pusat.
Dua unit gedung tersebut, yaitu gedung Arjuna dan Yudhistira masing-masing memiliki lima lantai dan setelah diselesaikan kini dilengkapi ruang bertekanan negatif, ruang pasien, ruang istirahat tenaga medis, dan ruang logistik. Kedua gedung berlokasi terpisah dari unit lain, sehingga menekan potensi penularan di rumah sakit.
Pratikno mengatakan, Presiden telah memberikan perintah langsung ke sejumlah bawahannya agar membantu memaksimalkan layanan unit corona di RSA UGM ini. Pemerintah sendiri sudah menggelontorkan dana hingga Rp 66,8 miliar.
“Pengerjaan yang tidak sederhana, karena harus aman Covid- 19, bisa menyiapkan 80 tempat tidur rawat inap, dua tempat tidur ruang tindakan, dan 25 tempat tidur ruang isolasi, luar biasa untuk waktu yang singkat,” kata Pratikno.
Unit layanan baru ini secara khusus memang dipersiapkan untuk menambah kapasitas layanan bagi pasien virus corona di Yogyakarta dan sekitarnya.
Harus Penuhi Prasyarat
Pakar epidemiologi dari Universitas Gadjah Mada, Dr Riris Andono Ahmad menyebut perbaikan layanan kesehatan memang dibutuhkan. Hal itu menjadi salah satu dari sejumlah prasyarat menuju kelaziman baru yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia WHO.
“Prasyaratnya misalnya penularan sudah terkontrol, tidak ada outbreak yang terlalu besar. Kasus satu dua mungkin masih bisa terjadi. Kemudian kemampuan diagnosis yang memadai, kemampuan layanan kesehatan yang memadai, kemampuan untuk mendeteksi kasus impor, kemudian melakukan edukasi masyarakat yang memadai,” kata Riris.
Riris mengidentifikasi dua patokan terkait kelaziman baru, yaitu kapan bisa diterapkan dan apa yang harus dilakukan untuk mengarah kesana. Batasan mengenai waktu menjadi jelas dengan prasyarat yang ditetapkan, yaitu ketika penularan sudah bisa dikendalikan. Tandanya, tidak ditemukan lagi klaster penularan besar di satu daerah dan angka reproduksi atau penularannya kurang dari satu.
Namun, lebih penting dari menjawab pertanyaan kapan kelaziman baru bisa diterapkan, menurut Riris, adalah mengidentifikasi apa yang harus dipersiapkan menuju kesana.
Riris menyatakan pentingnya mengaplikasikan protokol kesehatan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, ke dalam setiap bidang. Misalnya, bagaimana sektor bisnis, pariwisata, pendidikan dan sektor lain menerapkan secara khusus sesuai bidangnya. Protokol kesehatan Kemenkes harus bisa diintegrasikan dengan kegiatan rutin setiap sektor. Setiap perilaku masyarakat harus disesuaikan dengan protokol itu hingga terpenuhi standarnya. Sesudah itu, kata Riris, barulah bisa dibicarakan proses memasuki kelaziman baru.
Integrasi ini penting, agar apa yang dilakukan pihak terkait tidak masuk dalam program respon bencana. Protokol baru harus menjadi kebijakan yang diterapkan dan dipandang sebagai sesuatu yang normal.
“Kalau ini di-kept (dipertahankan, red) dalam sesuatu yang normal, seharusnya itu bisa diintegrasikan ke dalam sistem yang normal. Penyakitnya harus dimasukkan ke dalam program pengendalian penyakit yang berjalan, perencanaannya masuk ke dalam perencanaan rutin. Berbagai macam prioritas pembangunan, perlu dinilai ulang untuk memastikan Covid- 19 masuk ke dalam sistem,” tambah Riris.
Bagaimana dengan potensi terjadinya gelombang kedua? Menurut Riris, kondisi itu mau tidak mau memang harus dihadapi. Infeksi virus corona adalah sesuatu yang baru. Jika ada kebijakan pelonggaran jaga jarak, misalnya, belum ada pengalaman yang bisa menggambarkan dampaknya bagi masyarakat.
Belajar dari kasus Flu Spanyol di masa lalu, menurut Riris gelombang kedua lebih besar karena euforia masyarakat yang terlalu cepat kembali kehidupan normal. Karena itu, tambah Riris, edukasi dan penegakan aturan penting dilakukan saat ini.
“Yang menjadi pertanyaan bukan apakah akan ada gelombang kedua, tetapi seberapa besar gelombang berikutnya itu akan terjadi,” pungkas Riris. [ns/ab]