Di kawasan negara-negara Barat, infowars atau perang informasi berhasil secara efektif menangkis penyebaran berita propaganda dan fake news atau berita palsu berasal dari Rusia.
Keberhasilan ini tidak terlihat di kawasan dunia lainnya. Indonesia, misalnya, sebagaimana dikemukakan oleh Dudy Rudianto dari Evello, platform pemantauan big data di Jakarta. Kepada VOA Maret lalu ia mengatakan bahwa sebagian besar netizen Indonesia, di TikTok 95 persen, di Instagram 73 persen, menyatakan dukungan terhadap Rusia.
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang propaganda Rusia di media sosial ini, VOA menghubungi Ivana Stradner, seorang penasihat di Foundation for Defense of Democracies (FDD) dan peneliti di American Enterprise Institute.
Menurut Stradner, Rusia sudah memanfaatkan informasi sebagai senjata untuk mempengaruhi pemikiran dan sikap orang selama puluhan tahun.
"Rusia selalu memanfaatkan, mereka tidak perlu menciptakan sentimen anti-Barat lagi. Yang mereka lakukan adalah memanfaatkan polarisasi yang sudah terbentuk di dalam sebuah negara, dan mereka amplifikasi hal itu baik di spektrum ekstrim kanan maupun kiri, dan mereka manipulasikan sentimen-sentimen itu, serta menggunakannya sebagai senjata. Jadi saya sama sekali tidak kaget dengan apa yang terjadi di Indonesia," tukasnya.
Untuk tujuan ini, Rusia menciptakan lembaga-lembaga informasi yang khusus diperuntukkan melancarkan inforwars. Kembali Ivana Stradner.
"Satu entitas yang pasti harus Anda tinjau adalah Internet Research Agency yang berbasis di St. Petersburgh, ini disebut troll-factory atau pabrik yang mempengaruhi opini. Mereka melancarkan kampanye-kampanye disinformasi. Dan sudah tentu juga ada GRU, atau intel Rusia yang terlibat dalam perang informasi Rusia," tambahnya.
Untuk memahami situasi di Indonesia, VOA menghubungi Firman Kurniawan, pengajar program pasca-sarjana ilmu komunikasi FISIP UI.
Dia berpendapat ada dua kondisi yang membuat propaganda Rusia di Indonesia berhasil. Pertama adalah sikap netral atau tidak berpihak dari pemerintah Indonesia dan ini ditangkap oleh masyarakat. Kedua, krisis Ukraina oleh masyarakat dipersepsikan sebagai konflik Rusia dan Amerika, bukan Rusia dan Ukraina.
"Amerika yang sering dianggap sering menekan kelompok Islam yang menjadi mayoritas dari masyarakat Indonesia itu dianggap common enemy (musuh bersama) sehingga di dalam hal ini, siapapun musuhnya Amerika adalah pahlawan bagi sekelompok orang. Hal tersebut menjadi mainstreaming (menjadi pola pikir yang umum) cara berpikirnya masyarakat di media sosial, akhirnya mereka tertular bahwa Rusialah yang harus kita pegang sebagai pahlawan," ujar Firman.
Ditambahkannya, bermodalkan kedua kondisi tadi, Rusia tinggal menuai hasilnya untuk membentuk opini pro-Rusia di Indonesia.
Juga kurangnya pemahaman para netizen dengan situasi geo-politik seputar konflik ini ikut menyumbang pada ketimpangan informasi di dunia maya Indonesia.
"Pemahaman lebih dari 70% masyarakat Indonesia tentang apa yang sebenarnya terjadi di Rusia dan Ukraina, mereka itu pasti tidak tahu persis. Jadi apa yang menyebabkan invasi militer Rusia ke Ukraina, masyarakat Indonesia saya yakin sebagian besar tidak memahami secara detail alasan maupun sejarahnya," ulasnya.
Sementara, di dunia Barat usaha disinformasi Rusia berhasil dipatahkan lewat pengawasan konten dunia maya secara ketat, upaya pencerahan secara lebih intensif masih dibutuhkan di Indonesia, lewat pemberitaan yang kredibel serta lebih sering menghadirkan pakar hubungan internasional di forum-forum media Indonesia. [jm/ka]