Tautan-tautan Akses

'Russian Roulette' dan Campur Tangan Rusia dalam Pemilu 2016


Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) saat bertemu Presiden AS Donald Trump di sela KTT G-20 di Hamburg, Jerman 7 Juli 2017 (foto: dok). Trump terus membantah adanya keterlibatan tim suksesnya dengan para pejabat Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) saat bertemu Presiden AS Donald Trump di sela KTT G-20 di Hamburg, Jerman 7 Juli 2017 (foto: dok). Trump terus membantah adanya keterlibatan tim suksesnya dengan para pejabat Rusia.

Penyelidikan tentang kemungkinan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden Amerika tahun 2016 masih belum selesai, walaupun Presiden Donald Trump terus membantah adanya keterlibatan tim suksesnya dengan para pejabat Rusia.

Kini ada buku baru berjudul: “Russian Roulette, The inside Story of Putin’s War on America and the Election of Donald Trump.” Buku itu ditulis oleh wartawan Michael Isikoff dan David Corn.

Russian Roulette berasal dari bahasa Rusia “Russkaya Ruletka,” suatu permainan yang sangat berbahaya, karena bisa mengakibatkan kematian.

Contoh klasik permainan yang katanya berasal dari Rusia itu adalah dua orang yang menggunakan sebuah pistol yang diisi dengan satu peluru untuk menyelesaikan sengketa yang sulit. Kedua orang tadi secara bergantian memutar silinder pistol dan menarik pelatuk senjata yang diarahkan ke kepalanya sendiri, sampai salah seorang mati ketika pistol itu meletus.

Tapi apa hubungan antara Russian Roulette dengan perkembangan politik yang sedang terjadi di Amerika?

Wartawan Michael Isikoff mengatakan, “Buku ini menjelaskan tentang apa yang terjadi dalam pemilihan presiden tahun 2016, dan bagaimana sebuah negara asing, dalam hal ini Rusia, melakukan campur tangan dalam pemilihan di Amerika dengan cara yang sangat terarah dan canggih.”

Kata Isikoff, kisah hubungan Trump dengan Rusia dimulai dengan kehadirannya di Moskow tahun 2013 untuk mengatur pemilihan Miss Universe. Tapi tujuan sebenarnya, kata Isikoff kepada stasiun radio C-Span, adalah untuk mengusahakan pembangunan sebuah Trump Tower di Moskow dan sekaligus bertemu dengan Vladimir Putin.

“Trump sangat terobsesi untuk bertemu dengan Putin. Dia berharap Putin akan datang menghadiri pemilihan Miss Universe. Ia juga diberi tahu bahwa Putin akan meneleponnya. Trump berada di Moskow hanya satu malam dan dua hari. Ia terus bertanya-tanya pada orang disekitarnya, 'Apakah Putin akan datang? Apakah ada yang tahu bahwa Putin akan datang?',” lanjut Isikoff.

Isikoff menambahkan bahwa "Letter of Intent" untuk membangun Trump Tower itu bahkan sudah ditandatangani oleh kantor Trump dengan Crocus Group, perusahaan pengembang real estate milik Aras Agalarov, yang membantu pelaksanaan pemilihan Miss Universe di Moskow.

Aras Agalarov adalah pengusaha yang dekat dengan Putin dan kekayaannya, kata majalah ekonomi Forbes, diperkirakan berjumlah 1,3 milyar dolar.

“Donald Trump Junior, putra tertua Trump diangkat sebagai pengurus proyek itu. Ivanka Trump, putri Trump, terbang ke Moskow bulan Februari 2014 untuk mencari lokasi yang baik untuk membangun Trump Tower itu,” tambah Isikoff.

Tapi kemudian Vladimir Putin menganeksasi Jazirah Krimea, dan Amerika serta Uni Eropa melancarkan sanksi-sanksi keras terhadap Rusia, termasuk atas sebuah bank Rusia yang akan mengongkosi pembangunan Trump Tower itu, dan hasilnya, kata Isikoff, “rencana pembangunan Trump Tower itu buyar.”

Pemerintahan Putin kemudian melancarkan semacam cyber warfare untuk memanfaatkan perpecahan politik di dalam Amerika.

“Menjelang konvensi nasional Partai Demokrat, yang mencalonkan Hillary Clinton sebagai presiden, situs pembocor rahasia WikiLeaks mengumumkan kumpulan email intern partai Demokrat yang disadap oleh badan-badan intelijen Rusia.”

Karena itulah para pendukung Hillary Clinton terus menuding Rusia sebagai penyebab kemenangan Donald Trump. [ii/al]

XS
SM
MD
LG