Dalam sepuluh hari terakhir, rakyat Indonesia dan masyarakat internasional dikejutkan oleh gelombang serangan teroris. Dimulai dengan kerusuhan dan penyanderaan yang dilakukan para tahanan kasus terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando brigade Mobil di Depok, mengakibatkan enam orang tewas, termasuk lima polisi, disusul sejumlah serangan bom bunuh diri pada hari Minggu (13/5) dan Senin (14/5). Sasarannya tiga gereja dan kantor Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Belasan orang terbunuh dan puluhan lainnya cedera.
Situasi ini kembali memunculkan desakan agar Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah segera merampungkan pembahasan revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Antiterorisme. Salah faktor yang membuat tidak kunjung disahkannya UU itu adalah soal definisi terorisme.
Namun dalam sebuah diskusi mengenai RUU Antiterorisme yang digelar disebuah hotel di Jakarta, Senin (14/5), Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menekankan tidak perlu ada definisi terorisme dalam RUU tersebut.
Al Araf memberikan solusi agar perdebatan mengenai definisi terorisme selesai yaitu dengan menggunakan pasal 6 dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
"Pasal 6 bunyinya begini: setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara luas atau menimbulkan korbanbersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kehancuran atau kerusakan terhadap obyek vital, dikategorikan sebagai terorisme," kata Al Araf.
Anggota Panitia Khusus RUU Antiterorisme Risa Mariska menjelaskan teroris merongrong kedaulatan negara. Seperti diamanatkan oleh konstitusi, lanjutnya, adalah tugas negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, menjadi basis legal untuk negara menindakan siapa saja mengancam keamanan dan kedaulatan negara.
Menurut Risa, revisi RUU Antiterorisme telah mengakomodir beberapa hal menjadi kebutuhan aparat keamanan dalam pemberantasan terorisme.
"Mengenai persiapan tindak pidana terorisme, itu ada di pasal 10a. Kemudian mengenai perencanaan tindak pidana terorimse, itu ada di pasal 12a. Mengenai pelatihan militer atau paramiliter, ada di pasal 12b. Kemudian mengenai ujaran kebencian untuk melakukan kekerasan dan menimbulkan tindak pidana terorisme, itu ada di pasal 13 a. Bahkan kelibatan anak dalam perbuatan tindak pidana terorisme juga sudah diatur dalam pasal 16 a," kata Risa.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini yang masih menjadi perdebatan terakhir adalah mengenai definisi terorisme, yang jika dijabarkan secara rinci akan membatasi kewenangan negara dalam menangani sekaligus memberantas terorisme. Karena itu, lanjut Risa, Fraksi PDIP menolak definisi terorisme masuk dalam revisi RUU Antiterorisme. Dia juga mengajak seluruh kalangan masyarakat untuk mengawal pembahasan RUU Antiterorisme hingga sampai disahkan.
Pada kesempatan itu, Risa menyerukan agar pembahasan RUU Antiterorisme dilakukan secara transparan dan segera dirampungkan.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansaad Mbai menilai ada beberapa anggota Panitia Khusus RUU Antiterorisme tidak paham masalah terorisme dan tidak memahami semangat untuk merevisi undang-undang antiterorisme.
Mbai mengatakan kewenangan aparat keamanan perlu diperluas dalam menangani terorisme. Dia mengaku mendapat keluhan dari aparat keamanan di lapangan. Mbai mencontohkan kewenangan menahan terduga teroris selama tujuh hari tanpa memberitahukan siapapun. Dia menyebutkan banyak terduga teroris menolak berbicara lebih dari sepekan sehingga sulit bagi aparat keamanan untuk mengusut jaringan mereka.
Kelemahan lainnya dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, tambah Mbai, adalah rendahnya hukuman bagi pelaku teror. Dia mencontohkan Bahrun Naim. Padahal di negara-negara lain, seperti Prancis, dapat menahan tersangka terorisme selama empat tahun tanpa diadili.
"Kemudian lagi yang lebih prinsip, semangat yang utama adalah bagaimana caranya supaya kita bisa bertindak proaktif, sekarang ini reaktif. Inisiatif di tangan teroris," ujar Mbai.
Mbai menegaskan tidak penting berdebat soal definisi terorisme. Apalagi dalam Panitia Khusus RUU Antiterorisme, lanjut dia, ada orang-orang bekerja untuk kepentingan politik kelompoknya sehingga membuat pembahasan RUU ini jadi berlarut-larut.
Ketua Setara Institute Hendardi menyayangkan lambatnya Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam menyelesaikan pembahasan revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Antiterorisme. Bahkan dia menilai ada kesengajaan untuk menutupi pembahasan RUU tersebut.
Hendardi menilai eksklusifitas pembahasan RUU Antiterorisme itu berlawanan dengan napas partisipasi publik yang justru menuntut pelibatan banyak pihak, sehingga bisa menghasilkan beleid yang berkualitas dan tepat guna. Karena itu, dia berharap DPR bisa membuka sidang-sidang Panitia Khusus RUU Antiterorisme sehingga mengurangi kecurigaan sejumlah pihak. Dia meminta DPR dan pemerintah tidak lagi berdebat mengenai definisi terorisme.
Dalam jumpa pers hari ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan definisi mengenai terorisme dalam pembahasan RUU Antiterorisme sudah tidak lagi menjadi perdebatan. Demikian pula tentang pelibatan TNI dalam penanganan masalah terorisme. [fw/em]