Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berlangsung di kompleks parlemen di Senayan, Jakarta, Kamis (16/12), tidak memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kejahatan Seksual. Padahal, rancangan beleid itu sudah disetujui Badan legislasi DPR Rabu pekan lalu (8/12).
Dia mengakui pimpinan Badan Legislasi sudah menyurati pimpinan DPR agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa masuk dalam agenda pembahasan pada rapat paripurna hari Kamis, namun tetap tidak dimungkinkan. Dia menambahkan hal itu terjadi karena pimpinan DPR tidak sempat menggelar rapat Badan Musyawarah. Sebab mekanismenya draf RUU ini harus dibahas di Badan Musawarah sebelum disahkan di rapat paripurna.
Namun Willy menambahkan pimpinan DPR sudah memiliki komitmen politik untuk mengesahkan draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tersebut sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna berikutnya pada pertengahan Januari 2022.
"Jadi alasan pimpinan setelah kita konfirmasi, secara teknis mereka tidak ada waktu untuk (rapat) Bamus (Badan Musyawarah pimpinan DPR) sehingga diagendakan ke rapat paripurna berikutnya," kata Willy.
Willy masih meyakini komitmen DPR untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu karena tujuh fraksi telah menyetujui draf RUU tersebut dalam rapat pleno Badan Legislasi; yang menunjukkan dukungan dan komitmen partai-partai politik di DPR.
Dia juga melihat kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk memiliki RUU itu.
Menurutnya pimpinan Badan Legislasi akan terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pimpinan DPR supaya rapat paripurna berikutnya dapat mengesahkan draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai RUU inisiatif DPR, untuk kemudian secepatnya disahkan.
Dihubungi terpisah, aktivis perempuan dari LBH Apik Ratna Bathara Munti menyayangkan draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak masuk dalam agenda pembahasan rapat paripurna DPR hari ini. Padahal Indonesia sudah dalam keadaan darurat kekerasan seksual.
Dia mencontohkan pemimpin pondok pesantren di Bandung yang memperkosa belasan santrinya selama bertahun-tahun sehingga sebagian dari mereka melahirkan anak.
Ratna mengakui aktivis dan lembaga pemantau hak perempuan kesulitan memantau perkembangan dalam Badan Musyawarah pimpinan DPR karena rapat selalu digelar secara tertutup. Berbeda dengan rapat Badan Legislasi DPR yang dilakukan secara terbuka.
"Proses di Bamus (Badan Musyawarah pimpinan DPR) ini selama ini tidak terkawal dengan baik oleh masyarakat sipil karena memang tidak transparan. Hal ini juga terjadi pada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. yang sudah 1,5 tahun tertahan di Bamus. Ini masalahnya di sini," ujar Ratna.
Padahal, lanjutnya, seharusnya proses legislasi itu berlangsung terbuka dan transparan sehingga masyarakat sipil bisa berpartisipasi, memantau dan memberi masukan.
Ratna berharap draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa disahkan dalam rapat paripurna DPR berikutnya untuk menjadi RUU inisiatif DPR.
Dia menilai aturan pidana dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan oleh Badan legislasi DPR masih belum memasukkan lima bentuk pidana lainnya yakni pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan pemaksaan hubungan seksual.
Ratna berharap setelah disahkan oleh rapat paripurna DPR mendatang, ada simulasi terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar bisa diterapkan di lapangan secara efektif. Dia juga berharap daftar investaris masalah yang akan diajukan pemerintah nanti bisa dibahas secara transparan dan melibatkan masyarakat sipil yang memang selama ini bekerja mendampingi para korban kekerasan seksual.
Lebih jauh Ratna berharap akan ada substansi yang ditambahkan dalam pembahasan RUU nantinya mengenai mekanisme satu atap dalam proses penegakan hukum dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengecam pimpinan DPR yang tidak memasukkan draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ke dalam agenda pembahasan rapat paripurna hari ini. Dia menilai hal itu sebagai bukti tidak ada sense of crisis dari sebagian anggota DPR terhadap darurat kekerasan seksual di Indonesia. [fw/em]