Salat Jumat biasanya digelar secara berjamaah di masjid. Pandemi melahirkan terobosan baru terkait ibadah ini. Ratusan orang memilih menjalankannya melalui aplikasi pertemuan virtual.
Roland Gunawan dan Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usmas Hamid, memulai rutinitas Salat Jumat Virtual (SJV) sekitar awal tahun ini. Jumat 11 Juni 2021 menjadi ibadah ke-13, dan diikuti sekitar seratus peserta. Roland memutuskan untuk menggelar SJV dengan dasar yang kuat, karena dia sendiri adalah Wakil Ketua I Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) DKI Jakarta.
“Kami punya pandangan, karena pemerintah memberikan batasan jamaah di masjid dan mushola hanya 50 persen, terutama di Salat jamaah, makanya kami membuka ruang virtual untuk memfasilitasi Salat Jumat Virtual,” kata Roland kepada VOA.
SVJ awalnya diikuti oleh sekitar dua ratus jamaah, dan kemudian jumlahnya bervariasi. Jamaah paling sedikit seingat Roland ada di angka 80-an orang. Sedangkan beberapa pekan terakhir, jumlahnya stabil di kisaran seratus orang.
“Para jamaah mengikuti Salat ini karena mereka yakin akan kesahannya, setelah membaca argumentasi yang kami berikan. Jamaah kami rata-rata akademisi, ada juga profesor. Rata-rata memiliki pendidikan yang tinggi,” tambahnya.
Selain yakin secara fikih, SJV juga digelar karena alasan perebutan ruang keagamaan. Menurut Roland, khutbah yang diberikan dalam ibadah ini menyangkut tema-tema seperti lingkungan, keadilan, bahkan terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Roland mengklaim, tema-tema semacam ini akan sangat sulit diperoleh dalam ibadah Salat Jumat di masjid yang biasa digelar. Ruang virtual perlu dibuka, lanjutnya, untuk memfasilitasi khutbah yang mencerahkan.
Tidak hanya Salat Jumat, Roland dan jamaah lain juga menyelenggarakan Salat tarawih virtual pada bulan Ramadhan lalu. Terobosan besar yang dilakukan adalah memberi kesempatan kepada penceramah perempuan, untuk mengisi kajian dalam ibadah ini. Biasanya, ceramah tarawih di masjid-masjid diberikan oleh penceramah laki-laki.
Pandangan Berbeda
Persoalan ibadah dengan imam yang terpisah dari jamaah bukan saat ini saja menjadi perbincangan. Dikutip dari keterangan resmi, Bahtsul Masail NU yang dimuat dalam situs NU Online, Mu'allim Syafi'i Hadzami pernah menyinggung persoalan ini. Syafi'i Hadzami adalah ulama besar di Jakarta, yang meninggal pada 2006 lalu.
Syafi’i menulis, mereka yang sakit tentu saja boleh mendengarkan khutbah melalui radio. Tetapi Salat berjamaah memiliki persyaratan yang harus dipenuhi, dan itu sulit jika posisi imam dan jamaah terlalu jauh.
“Lagi pula kalau listrik mati atau baru baterai habis, buntu jamaahnya. Alhasil, banyaklah mawani‘ yang tidak mengesahkan sembahyang berjamaah kepada imam di radio. Sembahyang imamnya radio, lucu kedengarannya,” tulis Syafi’i dalam buku Taudhihul Adillah, 100 Masalah Agama yang dikutip NU.
Alhafiz Kurniawan dari Bahtsul Masail NU dalam paparan di laman resmi organisasi tersebut menitikberatkan persoalan akses antara jamaah dan imam ini. Dia menyatakan, untuk menghindari ketertinggalan makmum atas gerakan imam, pihak masjid yang menyiarkan siaran langsung dan juga makmum perlu mempersiapkan perangkat digital yang memadai untuk memaksimalkan akurasi berjamaah. Mereka perlu memastikan sinyal, baterai, kuota, volume yang cukup, tripod, dan perangkat lainnya.
Paparan ini menandakan diskusi yang dinamis di lembaga tersebut.
“Pelaksanaan shalat Jumat melalui siaran langsung media sosial dari masjid terdekat dapat menjadi alternatif bagi penduduk Muslim di tengah pencegahan COVID-19 yang mengharuskan jaga jarak fisik ketika fasilitas masjid tidak memadai untuk mematuhi protokol COVID-19,” papar Alhafiz.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa No 28 tahun 2021 menyebut, penyelenggaraan shalat Jum’at secara virtual hukumnya tidak sah. MUI berpedoman, imam yang memimpin ibadah dan makmum sebagai jamaah harus berada dalam satu kesatuan tempat dan tersambung secara fisik. Jika memang seseorang karena keadaanya tidak dapat menjalankan Salat Jumat, sesuai ajaran yang ada, MUI menyarankan yang bersangkutan untuk menjalankan ibadah Salat Zuhur.
Keputusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga senada dengan fatwa MUI. Muhammadiyah menyatakan Salat Jumat secara online atau virtual tidak diperbolehkan.
“Secara organisasi keputusan ini tentu mengikat bagi warga Muhammadiyah. Karena Majelis Tarjih merupakan lembaga yang diamanati untuk menyelesaikan masalah masalah keagamaan,” kata sekretaris Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Mohammad Mas’udi kepada VOA.
Dalam keputusannya, Muhammadiyah menjelaskan bahwa salat Jumat termasuk ibadah yang tidak dimungkinkan ada kreasi di dalamnya.
“Pertama, ibadah Jumatan ada di wilayah ta’abbudi, yang tidak memberi peluang untuk kreasi. Yang kedua, Jumatan online sesungguhnya tidak sesuai dengan tuntunan,” papar Mas’udi.
Selain itu, Muhammadiyah juga melihat ada potensi persoalan terkait sambungan internet selama Salat Jumat berjalan. Dalam acara-acara webinar yang banyak diselenggarakan, kata Mas’udi, persoalan semacam itu sudah sering ditemukan.
Muhammadiyah berharap, keputusan ini menjadi kepastian bagi warganya sehingga tidak ada lagi pertentangan pendapat terkait Salat Jumat online atau virtual.
Roland Gunawan, mewakili jamaah SJV menyatakan menghormati perbedaan pendapat lembaga-lembaga tersebut. Dia memastikan, kajian lengkap telah disampaikan untuk menjawab berbagai pertanyaan terkait SJV. [ns/ab]