ABUJA, NIGERIA —
Aktivis-aktivis ini merayakan “Earth Hour” dalam kegelapan di salah satu hotel termegah di Nigeria. Tidak semua lampu padam, tetapi nuansa simbolis tetap terasa, kata Oladotun Fadeyiye, koordinator Earth Hour di Abuja.
Di pesta ini, ujarnya, acara utamanya bukan pemadaman lampu. Tetapi, mengajukan petisi yang mereka harap bisa menekan pemerintah agar menerima Rancangan Undang-undang Perubahan Iklim, yang katanya ditujukan untuk menyusun program-program guna mengurangi kerusakan lingkungan dan membantu warga beradaptasi terhadap bencana alam, seperti banjir dan badai gurun. “Akan ada uang yang diperuntukkan bagi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat banjir. Akan ada cukup perhatian terhadap kerusakan lingkungan. Di bagian utara negara ini banyak terjadi penggundulan yang diabaikan pemerintah pusat,” paparnya.
Ia mengatakan RUU itu disetujui parlemen dua tahun lalu, tetapi perlu tanda tangan presiden sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Tahun lalu lebih dari 350 orang tewas dan lebih dari dua juta orang kehilangan tempat tinggal akibat banjir yang diperkirakan akan terjadi lagi dalam beberapa bulan mendatang. Para pejabat Nigeria mengatakan tingkat kematian akibat bencana alam terkait perubahan iklim di negara itu adalah salah satu yang tertinggi di dunia
Pada undakan-undakan beton di halaman hotel sekelompok anak memegang spanduk-spanduk bertuliskan kata-kata seperti “Galakkan Pengurangan Limbah” dan “Bertindak dari Sekarang untuk Mencegah Banjir.”
Andrew Jedy-Agba, 11 tahun, memberikan pendapatnya mengenai perubahan iklim. Ia mengatakan, “Di sebagian negara ada masalah polusi, dan itu sangat buruk karena merusak bumi kita dan banyak orang meninggal.”
Jedy-Agba mengatakan ia ingin menjadi pemain sepak bola kalau beranjak dewasa, dan berpendapat kegiatan lingkungan di Nigeria bukan dalam rangka menyelamatkan masa depan negara itu. Aktivis-aktivis muda di Nigeria mengatakan, bagi mereka, mengatasi perubahan iklim adalah terkait dengan penyelamatan nyawa manusia pada saat ini.
Di pesta ini, ujarnya, acara utamanya bukan pemadaman lampu. Tetapi, mengajukan petisi yang mereka harap bisa menekan pemerintah agar menerima Rancangan Undang-undang Perubahan Iklim, yang katanya ditujukan untuk menyusun program-program guna mengurangi kerusakan lingkungan dan membantu warga beradaptasi terhadap bencana alam, seperti banjir dan badai gurun. “Akan ada uang yang diperuntukkan bagi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat banjir. Akan ada cukup perhatian terhadap kerusakan lingkungan. Di bagian utara negara ini banyak terjadi penggundulan yang diabaikan pemerintah pusat,” paparnya.
Ia mengatakan RUU itu disetujui parlemen dua tahun lalu, tetapi perlu tanda tangan presiden sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Tahun lalu lebih dari 350 orang tewas dan lebih dari dua juta orang kehilangan tempat tinggal akibat banjir yang diperkirakan akan terjadi lagi dalam beberapa bulan mendatang. Para pejabat Nigeria mengatakan tingkat kematian akibat bencana alam terkait perubahan iklim di negara itu adalah salah satu yang tertinggi di dunia
Pada undakan-undakan beton di halaman hotel sekelompok anak memegang spanduk-spanduk bertuliskan kata-kata seperti “Galakkan Pengurangan Limbah” dan “Bertindak dari Sekarang untuk Mencegah Banjir.”
Andrew Jedy-Agba, 11 tahun, memberikan pendapatnya mengenai perubahan iklim. Ia mengatakan, “Di sebagian negara ada masalah polusi, dan itu sangat buruk karena merusak bumi kita dan banyak orang meninggal.”
Jedy-Agba mengatakan ia ingin menjadi pemain sepak bola kalau beranjak dewasa, dan berpendapat kegiatan lingkungan di Nigeria bukan dalam rangka menyelamatkan masa depan negara itu. Aktivis-aktivis muda di Nigeria mengatakan, bagi mereka, mengatasi perubahan iklim adalah terkait dengan penyelamatan nyawa manusia pada saat ini.