Ratusan warga desa-desa di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Piyungan di Yogyakarta menggelar demonstrasi pada Sabtu (7/5). Mereka menutup akses TPA itu dan menghalangi pengiriman sampah dari semua wilayah. Dalam beberapa hari, wajah Yogyakarta berubah drastis dengan tumpukan sampah di berbagai sudut kota. Bau menyengat menusuk hidung dan cairan lindi (air hujan yang berada di timbunan sampah -red) mengalir di tepi jalan.
Soegiman, salah satu warga sekitar TPA mengklaim, sudah cukup bagi mereka hidup berdampingan dengan sampah selama hampir tiga dekade.
“Kami sebagai masyarakat yang telah menghirup udara selama 28 tahun, dan tercemar selama 28 tahun. Kami ini ada, tetapi dianggap tidak ada. Kami ini hidup, tetapi dianggap kami mati,” kata Soegiman.
Demonstran datang dari sejumlah desa yang lokasinya berdekatan dengan TPA Regional Piyungan. Di lokasi inilah, sampah dari berbagai wilayah di Provinsi DI Yogyakarta ditimbun. Selain bau, warga juga mengeluhkan cairan lindi yang ikut merusak lahan pertanian mereka. TPA ini berlokasi sekitar 15 kilometer dari pusat kota Yogyakarta.
Bukan sekali ini saja Yogyakarta berjibaku dengan masalah sampah. Mengandalkan pembuangan sebagai proses akhir untuk semua jenis sampah, membuat wilayah ini sangat tergantung pada daya tampung TPA. Dengan lebih 700 ton sampah masuk tiap hari, kapasitas tampung TPA Regional Piyungan berkali-kali dilampaui. Penutupan sementara seringkali dilakukan, baik karena desakan warga maupun kelebihan beban. Di masa libur Lebaran tahun ini, dalam sehari bahkan sampah yang harus dibuang bisa mencapai 900 ton.
Dikelola Bukan Dibuang
Pangkal masalah tersebut adalah sampah yang lebih dari 700 ton per hari itu ditangani dengan pola pikir membuang, bukan mengelola. Penilaian itu disampaikan Ketua II Perkumpulan Yogyakarta Green and Clean, Zaenal Mutakin, ketika dihubungi VOA.
Pemakaian nama Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, menurut Mutakin, membentuk pola pikir bahwa sampah harus dibuang. Padahal, dinas terkait seharusnya mengelolanya terlebih dahulu. Hanya sisa terakhir yang masuk ke pengolaan akhir sampah setelah semua potensi bisa dimanfaatkan.
Awal dari semua ini, lanjut Mutakin, adalah pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. Sayangnya, kesadaran baik di tingkat rumah tangga maupun dinas pengelola sampah belum muncul.
“Lebih banyak pengadaan armada-armada truk. Truknya sendiri selama ini tidak terpilah, warnanya masih kuning semuanya. Mereka (pemerintah-red) mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah, dengan bak sampah warna hijau, kuning dan merah. Tetapi angkutannya masih satu jenis,” kata Mutakin.
Kesadaran masyarakat masih menjadi beban berat karena kurangnya edukasi. Pemerintah mestinya bekerja sama dengan penggerak pengolahan sampah. Mutakin mengingatkan, UU 18/2008 membuka pemberian kompensasi bagi komunitas yang mengelola sampah mereka.
Enam puluh persen sampah yang dibuang ke TPA saat ini adalah sampah organik. Karena itu, fokus harus diarahkan ke jenis sampah ini. Bank sampah yang didirikan masyarakat selama ini tidak mau menerima sampah organik sehingga tanggung jawab penuh ditanggung pemerintah daerah.
Kesadaran soal itu sebenarnya juga dimiliki oleh pemerintah. Jito, Kepala Balai Pengelolaan Sampah DI Yogyakarta, memahami pihaknya tidak akan bisa menyelesaikan beban ini sendiri.
“Yang jadi masalah, di satu pihak, sebenarnya tanggung jawab pengelolaan sampah itu di kabupaten/kota, dan harus dimulai dari rumah tangga, harus memilah. Juga, pemerintah kalau sudah memerintahkan untuk memilah, harusnya juga menyediakan sarana prasarana, fasilitas, kenyataannya... ,” kata Jito.
Kampanye 3R, yaitu reuse, reduce dan recycle telah lama digaungkan. Sayangnya, slogan itu hanya indah dalam kata-kata, karena kenyataan membuktikan pemilahan sampah sebagai pintu gerbang upaya itu tidak berjalan. Data menunjukkan hanya kurang dari satu persen sampah di DI Yogyakarta yang dipilah untuk kemudian masuk dalam program 3R.
Faktor utamanya adalah nilai ekonomis sampah itu sendiri. Bank sampah yang banyak didirikan di komunitas dengan pendanaan dari pemerintah, swasta dan swadaya, menerapkan pemilihan material sampah, sebelum mereka pilah.
Jito memberi contoh, tas kresek yang cukup mendominasi sampah buangan, tidak diambil oleh bank sampah karena nilai ekonomisnya kecil.
“Kalau tidak laku, dia juga tidak mau. Tas kresek itu susah, memerlukan tempat, harus dipilih sesuai warnanya, dan harganya kalau dijual lakunya rendah. Akhirnya, yang terjadi, bank sampah yang diambil hanya kardus, botol. Botol pun hanya plastik minuman mineral. Bank sampah hanya melihat yang punya nilai ekonomi,” papar Jito.
Sistem Pengelolaan Konvensional
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, menyebut persoalan bermula karena tidak ada kesesuaian, antara konsep pengelolaan yang direncanakan berupa sanitary landfill, menjadi sistem open dumping atau controlled landfill.
“Yogya sebagai kota pelajar dan wisata, punya konsekuensi meningkatnya produksi sampah yang dihasilkan dari tahun ke tahun. Namun, sistem pengelolaannya sampai saat ini masih konvensional. Sampah dikumpulkan di tempat pengumpulan sementara, kemudian diangkut dan akhirnya ditimbun di TPA Piyungan,” ujar Halik.
Karena sistem itu, persoalan pencemaran udara, air dan tanah di sekitar TPA Regional Piyungan tidak pernah bisa ditanggulangi dan dipulihkan. Karena itu, Halik menilai wajar jika kemudian warga menutup kembali akses ke sana.
Halik mendorong pemecahan masalah melalui regulasi dan dukungan politik anggaran untuk mengatasi persoalan. Salah satu kebijakan yang bisa cepat dikeluarkan, tambahnya, adalah peraturan gubernur, wali kota atau bupati tentang pembatasan atau larangan penggunaan plastik sekali pakai.
“Paling tidak kebijakan ini bisa mengurangi produksi sampah yang ada,” ujarnya.
Walhi Yogyakarta juga mendorong kampanye pengurangan sampah secara terus menerus melalui bank sampah atau komunitas pengelola sampah mandiri. Komunitas semacam ini harus diposisikan sebagai kader lingkungan hidup dengan dukungan infrastruktur yang memadai. Selain itu, perlu juga memperbanyak TPS 3R di tingkat kabupaten/kota sebagai bagian dari penangan timbunan sampah, sehingga yang diangkut benar-benar hanya residu yang tersisa.
Janji Program Lagi
Di tingkat pemerintah daerah, janji perbaikan pengelolaan kembali disampaikan. Pamerintah Kabupaten Bantul, misalnya, membuat program bernama Bersama, seperti dikatakan Bupati Abdul Halim Muslih.
“Di Bantul punya program Bantul Bersama, Bantul Bersih Sampah Tahun 2025. Di mana kita memproyeksikan, sampah itu akan selesai di desa, tidak perlu disetorkan ke TPA. Karena sampah selesai di desa itu menggunakan sistem pemilahan,” kata Halim.
Program itu, seperti juga digerakkan bank sampah di seluruh wilayah Indonesia, mengandalkan slogan reduce, reuse dan recycle. Halim memastikan, setiap jenis sampai di wilayahnya, seperti plastik, kertas maupun kaca, akan ada yang membeli.
“Sisa makanan juga dikumpulkan, nanti kita akan jadikan pakan maggot, sumber protein tinggi bagi ternak. Kalau pemilahan ini kita lakukan, tidak diperlukan lagi tempat penampungan sampah, karena semua selesai di kelurahan,” ujar Halim penuh semangat.
Kabupaten Bantul akan menggelontorkan dana hingga Rp23 miliar tahun ini, untuk upaya tersebut.
Di tingkat provinsi, Yogyakarta akan mengatasi persoalan sampah dengan menggandeng perusahaan swasta. Kepala Bappeda DIY Beny Suharsono menyebut di masa depan tidak ada lagi konsep pembuangan, tetapi pemrosesan. PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, BUMN di bawah Kementerian Keuangan serta Bappenas akan membantu proses Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
“Tidak ada lagi pembuangan sampah, yang di sana sampah yang harus diolah. Dan itu harus ada garansi bahwa sampah di sana tidak dibuang, tetapi diproses,” kata Beny.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, sendiri mengakui ada kendala terkait persiapan pola penanganan baru sampah Yogyakarta.
“Punya problem teknis, antara penuhnya sampah di sana dengan hasil studi Bappenas dan PT PII yang perlu waktu lebih panjang,” ujarnya. [ns/ab]