Di sejumlah negara, film ini bahkan menduduki posisi puncak selama berpekan-pekan. Sejumlah pihak berspekulasi The Shadow Strays kian mengukuhkan posisi Indonesia sebagai salah satu produsen film laga berkualitas.
“Setiap film Indonesia yang bagus, yang memiliki standar internasional, saya kira bisa eksis di pasar internasional,” kata Timo Tjahjanto, sutradara sekaligus penulis naskah "The Shadow Stray", menanggapi keberhasilan filmnya dengan sikap merendah. Namun, ia sulit menyembunyikan kegembiraannya bahwa filmnya tersebut banyak mendapat sorotan di dalam dan luar negeri.
Keberhasilan The Shadow Strays terpeta jelas di Amerika Serikat. Film laga nonstop ini masuk dalam 10 besar film yang paling banyak ditonton di Netflix, dan bahkan sempat menduduki posisi nomor satu. Film ini bahkan mampu bersaing ketat dengan film-film berbahasa Inggris produksi Amerika Serikat yang dirilis pada saat hampir bersamaan.
Tidak hanya itu, film ini juga menduduki daftar 10 film yang paling banyak ditonton para pelanggan Netflix di 85 negara, termasuk AS, Kanada, Brazil, Prancis, Inggris, Jerman, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan Indonesia. Di beberapa negara, film itu bahkan bertahan di posisi puncak selama berpekan-pekan.
Timo mengaku, keberhasilan filmnya tak lepas dari media tayangnya, yang dalam hal ini layanan streaming Netflix yang jaringannya mendunia. Ia sendiri tak yakin, tanpa layanan OTT itu, filmnya bisa seberhasil ini.
“Netflix memungkinkan film layar lebar bisa ditonton di mana saja dan kapan saja. Keuntungannya adalah kalau film itu cukup banyak dibicarakan, dampaknya bisa sangat seketika, karena film itu tidak hanya ditonton di Indonesia saja, tapi juga di negara-negara lain,” katanya.
Lebih jauh Timo mengatakan, layanan streaming seperti Netflix juga memungkinkan filmnya bisa ditonton lebih banyak orang. Jika saja hanya diputar di layar lebar, The Shadow Strays mungkin akan masuk kategori Parental Guidance (PG) 21, mengingat kebrutalan aksi-aksi yang ditampilkannya. PG-21artinya hanya bisa ditonton oleh mereka yang berusia 21 tahun ke atas karena banyak mempertontonkan penyalahgunaan alkohol, narkoba, pornografi dan brutalitas.
Potensi Besar
"The Shadow Strays" menandai proyek paling ambisius Timo bersama Netflix, setelah sebelumnya bekerja sama dengan seniman bela diri terkemuka Iko Uwais dan Joe Taslim dalam film laga hit tahun 2018 The Night Comes for Us dan film laga komedi blockbuster tahun 2022 The Big 4.
Menurut Timo, Indonesia sendiri sebetulnya berpotensi memproduksi film laga berkualitas.
“Tidak hanya saya yang telah membuat film laga berkualitas. Sejauh ini, sudah ada film-film laga Indonesia yang terbilang solid. Kita sebetulnya berpotensi membuat film-film laga bagus,” ujarnya.
Timo mengatakan, film-film laga Indonesia menjadi sorotan internasional setelah dirilisnya The Raid: Redemption pada 2011 yang disutradarai Gareth Evans yang kemudian disusul oleh sekuelnya, The Raid 2, pada 2014. Kedua film tersebut sangat diminati di berbagai belahan dunia meski ketika itu hanya bisa ditonton di layar lebar.
“Saya kira contoh yang paling berhasil, yang bisa masuk ke pasar Amerika adalah The Raid. Film itu bisa eksis di pasar Amerika pada masa belum ada layanan streaming Netflix,” jelas Timo.
Pernyataan Timo dibenarkan Joe Taslim, aktor laga -- yang bersama Iko Uwais dan Yahya Ruhian --- membintangi film The Raid: Redemption. Berkat The Raid, kata Joe, “Sampai sekarang, 2024, Indonesia masih sangat dihormati. Kita boleh dibilang salah satu mecca-nya film laga dunia, yang menginspirasi sutradara-sutradara besar dunia, termasuk yang di Hollywood. Setelah The Raid, orang-orang membuat film laga secara berbeda. The Raid menjadi inspirasi mereka.’
Rama Tampubolon, movie blogger yang berbasis di Los Angeles, California, juga setuju. Anggota sejumlah asosiasi kritikus film di Amerika, seperti Hollywood Creative Alliance dan Los Angeles Film Critics Society, ini mengatakan, Indonesia memang dikenal berpotensi memproduksi film-film laga berkualitas, dan layanan streaming telah mendongkrak pangsa pasarnya.
“Film-film laga memang diharapkan dari Indonesia karena stereotype-nya Asian movies are action movies. Itulah alasan mengapa The Shadow Strays, The Night Comes for Us, The Raid begitu populer di Netflix,” ungkap Rama.
Dipa Andika Nurprasetyo, seorang produser film Indonesia, juga optimistis dengan kemungkinan film-film laga Indonesia menembus pasar internasional. Apalagi, bila film itu dibuat secara apik dan memenuhi standar internasional
Dipa mengatakan, “Genre film yang mudah diterima secara internasional adalah horor dan laga. Ini terbukti dengan keberhasilan The Shadow Strays yang masuk Top 10 di 85 negara, tidak hanya Eropa dan Amerika, tapi di semua benua.”
Kebrutalan Kunci Keberhasilan
Apa sebetulnya keunggulan film The Shadow Strays dibandingkan dengan film-film laga Hollywood? Timo mengakui, selain koreografi perkelahian yang apik, kebrutalan menjadi faktor yang menentukan.
“Kita tidak pernah bisa bersaing dengan Hollywood dalam hal atraksi memukau, seperti melompat dari helikopter, kebut-kebutan mobil mewah atau ledakan mobilBMW. Yang bisa kita lakukan untuk menyainginya adalah dengan kebrutalan. Indonesian way adalah brutal way,” kata Timo.
Apalagi, kata Timo, seni bela diri yang paling umum di Indonesia adalah Pencak Silat. “Silat itu menarik, seni bela diri yang brutal tapi indah. Ketika adegan perkelahiannya dibesut secara up close, ada nuansa keras, kuat dan emosional,” paparnya.
Joe, yang menguasai sejumlah seni bela diri, termasuk wushu, judo dan taekwondo, setuju. “Manuver-manuver silat itu untuk koreografi film laga itu sangat-sangat menarik. Dalam film, koreografi yang dibentuk dengan dasar-dasar silat memiliki keunikan tersendiri dibanding koreografi yang didasarkan pada seni bela diri lain,” kata aktor yang sudah sering muncul dalam film-film produksi luar negeri, seperti Fast Furios 6, Warrior, Mortal Kombat, dan The Furious. Yang terakhir adalah film laga terbaru Joe yang diproduksi di Hong Kong dan akan dirilis tahun depan.
Brutalitas erat kaitannya dengan semburan darah di mana-mana. Dan ini bukan tidak mungkin akan membuat sejumlah orang enggan untuk menontonnya. Namun, menurut Rama, itulah tuntutan pasar untuk film laga saat ini. Ketika ditanya, apakah mungkin membuat film laga yang tidak banyak menampilkan darah, Rama menjawab, “Bisa dibuat seperti itu. Di Amerika, itu ratingnya PG-13. Tapi itu tidak populer saat ini. Sekarang kalau mau nonton film laga, ekspektasi mereka adalah mau lihat segala bentuk kekerasannya. Kalau mereka tidak lihat, mereka akan kecewa. Film laga saat ini rata-rata rated R.”
Film dengan rating R (restricted) berisi materi dewasa dan dibatasi untuk orang berusia 17 tahun ke atas, atau harus didampingi oleh wali dewasa.
Rama lebih jauh mengatakan, ada pergeseran selera di kalangan penonton, termasuk di Amerika, terhadap film laga. Para penonton zaman sekarang, terutama generasi Z, menyukai film laga yang tidak sungkan menggambarkan kebrutalan. “Selera masyarakat terhadap film selalu berkembang, selalu berubah dengan berjalannya waktu,” katanya.
Joe tidak menampik bahwa film-film laga terakhir karya Indonesia yang sukses di panggung internasional memang banyak menghadirkan adegan brutal yang sangat disukai penonton. Namun, katanya, bukan berarti Indonesia harus terus memproduksi yang seperti itu.
“Tidak harus bahwa film laga Indonesia rating dewasa. Ini seharusnya menjadi PR bagi koreagrafer dan sutradara film laga Indonesia untuk membuat film yang ramah bagi mereka yang berusia di bawah 17 tahun,” kata Joe.
Bagaimana dengan unsur internasional? Di pembuka film The Shadow Strays, Timo sengaja menampilkan adegan brutal yang seolah digambarkan berlangsung di Jepang. Apakah ini juga menjadi faktor yang sengaja ditawarkan Timo untuk mengundang atensi penonton di luar Indonesia? Timo, tidak membantahnya.
Ia mengatakan, ia memang sering menampilkan nuansa Asia, yang tidak hanya Indonesia, dalam film-filmnya sebagai upaya merangkul lebih banyak penonton. Menurut Timo, “sentuhan” seperti itu tak lepas dari latar belakang hidupnya, yang banyak terekspos dengan budaya lain. Timo dilahirkan di Jerman, tapi kemudian dibesarkan di Indonesia dan sempat mengenyam pendidikan di Australia.
Banyak pengamat film mengatakan, The Shadow Strays menakjubkan secara sinematik. film ini menampilkan berbagai jenis aksi yang memicu adrenalin, mulai dari mobil terbakar, tembak-menembak, perkelahian massal, serta pertarungan tangan kosong dan senjata. Sampai-sampai banyak yang menduga film ini menelan biaya luar biasa besar. Timo membantahnya.
“Banyak orang berpikir, ‘wah gila, ini film mungkin dibuat dengan anggaran 30 juta dolar. Itu tidak benar. Kenyataannya hanya hampir sepersepuluhnya,” jelasnya, sambil tertawa.
Menurut Timo, di Indonesia, para pembuat film bisa kreatif karena tidak terikat banyak aturan yang kerap membebani secara finansial. Apakah ini berarti kalau dibesut di Hollywood film ini akan menelan biaya yang jauh lebih besar?
“Yah akan jauh lebih mahal. Biayanya sangat tinggi, karena lokasi mahal, asuransi tinggi, pajak juga ada. Di Indonesia juga ada pajak, tapi sistemnya di Indonesia lebih memberi Anda kebebasan untuk berkreasi penuh,” katanya.
Timo tahu persis itu karena ia juga pernah membesut film produksi Hollywood. Ia menjadi sutradara film Nobody 2 yang akan dirilis tahun 2025 dan di antaranya dibintangi Sharon Stone. Timo saat ini juga sedang disibukkan oleh persiapan menjadi sutradara film Hollywood lainnya The Last Train to New York yang merupakan remake film blockbuster Train to Busan.
Rama mendukung pernyataan Timo bahwa keberhasilan sebuah film laga tidak bergantung pada anggarannya, tapi pada kreativitas para pembuatnya.
“Sutradara yang pintar bisa membuat filmnya kelihatan mahal, meskipun anggarannya tidak besar,” tuturnya.
Keberhasilan Timo membuat film laga The Shadow Strays dengan biaya yang terbilang rendah ini membuatnya berambisi membuat sekuelnya. Apakah ini sebuah kepastian bahwa kelak ada The Shadow Strays-2?
“Saya biasanya cukup yakin, ketika membuat film, saya biasanya memiliki keyakinan bahwa film itu punya potensi untuk dilanjutkan. Itulah alasannya di penghujung film, saya memberikan kode dengan ide kalau penonton ingin kelanjutannya, saya punya cerita yang bisa disampaikan,” katanya.
Menurut Timo, pada tahun 2025 dia mempunyai 1 hingga 2 proyek film laga di Hollywood, sementara di Indonesia ia sedang menyusun rencana untuk membuat kelanjutan film The Big 4.
Lantas apa saran Timo bagi para pembuat film yang memproduksi film laga? “Membuat sesuatu yang bersifat teknis itu sulit tapi mungkin dilakukan. Tapi membuat penonton peduli pada tokoh-tokoh yang ada pada film jauh lebih sulit. Artinya, seberapa hebat pun laga yang ditampilkan dalam film, kalau Anda gagal membuat penonton peduli pada tokoh-tokohnya, film tersebut gagal merebut hati penonton. Jadi menurut saya yang paling penting, mulailah dengan naskah yang solid,” katanya. [ab/uh]
Forum