Jakor Porter tampak seperti remaja Amerika kebanyakan. Ia tertarik pada olahraga papan seluncur. Ia membawa kecintaannya pada olahraga ini ke tingkat lain, yaitu ke ruang kelas.
Jakor memberi sentuhan akhir dalam sebuah film tentang kehidupannya dan antusiasmenya pada papan seluncur. Ini adalah proyek hasil produksinya di Sekolah Jurnalisme dan Seni Media Richard Wright
“Saya suka menulis. Ini menyenangkan dan ini merupakan cara untuk mengungkapkan perasaan saya. Jurnalisme dan seni media seni. Saya ingin melakukan sesuatu secara berbeda, karena di sekolah saya sebelumnya mereka mengajar saya bagaimana cara menulis, tetapi mereka tidak mengajarkan bagaimana saya bisa benar-benar mengungkapkan perasaan saya,” paparnya.
Jakor adalah satu dari 130 pelajar Amerika keturunan Afrika yang mengikuti sekolah umum yang unik ini. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah di Washington yang terutama memusatkan perhatian untuk mempersiapkan para pelajar memiliki karir di dunia media, seperti reporter, produser, fotografer, dan editor video.
“Ketika saya masuk ke sini, saya menemukan sesuatu yang ingin saya lakukan dan ini seperti keterampilan untuk bekerja dengan tangan saya, kerja yang nyata,” paparnya lagi.
Marco Clark membuka sekolah di kawasan berpendapatan rendah di Washington ini tahun lalu. Misinya adalah menarik para pelajar dari sekolah yang memiliki kinerja buruk di mana mereka tertinggal dan tampaknya akan putus sekolah.
Ia memaparkan, “Mengapa membiarkan seorang anak di sekolah yang tidak berfungsi, sekolah yang tidak memberi anak apa yang mereka inginkan, dan membuat mereka betah disana? Kita memaksa mereka berada di sebuah tempat, dan kemudian kita mengecam jika mereka tidak melakukan hal itu dengan baik.”
Marco Clark menggunakan pengalaman hidupnya sendiri untuk mengajar para pelajar bagaimana mengatasi tantangan. Pada usia 11 tahun seorang pembimbing sekolah mengatakan pada Clark bahwa ia buta huruf. Sekarang – 30 tahun kemudian – ia memiliki sejumlah gelar kesarjanaan dan menjadi seorang pendidik. Clark mengatakan bahwa ia tidak menyerah dalam mendidik anak-anak ini.
“Kita tinjau tantangan apa yang mereka hadapi dan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif, dan langkah positif ini menunjukkan kita bisa melakukannya dan mari kita lihat dimana posisi kita. Ayo ciptakan cita-citamu dan mari kita capai aspirasimu,” tuturnya lagi.
Peneliti dunia pendidikan mengatakan para pelajar minoritas kerap didorong untuk mengikuti kursus-kursus yang tidak menyiapkan mereka masuk ke perguruan tinggi atau bekerja. Ini tidak terjadi pada sekolah ini, di mana prioritasnya adalah mempersiapkan para pelajar ini agar mampu meraih jenjang pendidikan lebih tinggi.
Jakor kembali berseluncur setelah 12 jam menghabiskan waktu di sekolah sambil merenungkan bagaiimana mengusahakan pendidikan yang baik dan karir yang cemerlang.
Jakor memberi sentuhan akhir dalam sebuah film tentang kehidupannya dan antusiasmenya pada papan seluncur. Ini adalah proyek hasil produksinya di Sekolah Jurnalisme dan Seni Media Richard Wright
“Saya suka menulis. Ini menyenangkan dan ini merupakan cara untuk mengungkapkan perasaan saya. Jurnalisme dan seni media seni. Saya ingin melakukan sesuatu secara berbeda, karena di sekolah saya sebelumnya mereka mengajar saya bagaimana cara menulis, tetapi mereka tidak mengajarkan bagaimana saya bisa benar-benar mengungkapkan perasaan saya,” paparnya.
Jakor adalah satu dari 130 pelajar Amerika keturunan Afrika yang mengikuti sekolah umum yang unik ini. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah di Washington yang terutama memusatkan perhatian untuk mempersiapkan para pelajar memiliki karir di dunia media, seperti reporter, produser, fotografer, dan editor video.
“Ketika saya masuk ke sini, saya menemukan sesuatu yang ingin saya lakukan dan ini seperti keterampilan untuk bekerja dengan tangan saya, kerja yang nyata,” paparnya lagi.
Marco Clark membuka sekolah di kawasan berpendapatan rendah di Washington ini tahun lalu. Misinya adalah menarik para pelajar dari sekolah yang memiliki kinerja buruk di mana mereka tertinggal dan tampaknya akan putus sekolah.
Ia memaparkan, “Mengapa membiarkan seorang anak di sekolah yang tidak berfungsi, sekolah yang tidak memberi anak apa yang mereka inginkan, dan membuat mereka betah disana? Kita memaksa mereka berada di sebuah tempat, dan kemudian kita mengecam jika mereka tidak melakukan hal itu dengan baik.”
Marco Clark menggunakan pengalaman hidupnya sendiri untuk mengajar para pelajar bagaimana mengatasi tantangan. Pada usia 11 tahun seorang pembimbing sekolah mengatakan pada Clark bahwa ia buta huruf. Sekarang – 30 tahun kemudian – ia memiliki sejumlah gelar kesarjanaan dan menjadi seorang pendidik. Clark mengatakan bahwa ia tidak menyerah dalam mendidik anak-anak ini.
“Kita tinjau tantangan apa yang mereka hadapi dan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif, dan langkah positif ini menunjukkan kita bisa melakukannya dan mari kita lihat dimana posisi kita. Ayo ciptakan cita-citamu dan mari kita capai aspirasimu,” tuturnya lagi.
Peneliti dunia pendidikan mengatakan para pelajar minoritas kerap didorong untuk mengikuti kursus-kursus yang tidak menyiapkan mereka masuk ke perguruan tinggi atau bekerja. Ini tidak terjadi pada sekolah ini, di mana prioritasnya adalah mempersiapkan para pelajar ini agar mampu meraih jenjang pendidikan lebih tinggi.
Jakor kembali berseluncur setelah 12 jam menghabiskan waktu di sekolah sambil merenungkan bagaiimana mengusahakan pendidikan yang baik dan karir yang cemerlang.