Mulai 5 Januari 2023, orang-orang yang bepergian dari China wajib melakukan tes COVID-19 dalam kurun 48 jam sebelum menuju Australia dan menunjukkan hasil negatif.
Pejabat Australia menyatakan kebijakan itu untuk menanggapi gelombang besar penularan COVID-19 di China dan “potensi munculnya varian virus di negara itu.”
Australia mengikuti langkah negara-negara lain yang memberlakukan pembatasan terhadap mereka yang bepergian dari China, termasuk India, Malaysia, Spanyol, Inggris dan AS.
Canberra memastikan kebijakan itu merupakan pencegahan dan bersifat sementara.
Menteri Kesehatan Federal Australia Mark Butler mengatakan kepada Australian Broadcasting Corp. hari Senin (2/1) bahwa ia khawatir akan “ketiadaan informasi yang komprehensif mengenai situasi (COVID-19) di China,” terutama kurangnya informasi pengurutan genom (genomic sequencing) yang dibagikan pihak berwenang Beijing.
Australia percaya berbagi informasi adalah hal yang penting untuk dapat mengetahui kemunculan varian baru sedini mungkin. “Tidak ada pembatasan perjalanan dari China. Yang kami minta hanyalah penyerahan hasil tes COVID sebelum kedatangan. Ini adalah langkah sederhana dan berimbang yang juga dilakukan negara-negara di Amerika Utara, Eropa dan Asia, kurang lebih semua negara yang biasanya kami bandingkan dengan kami sendiri telah melakukan yang serupa, atau persis seperti yang kami lakukan, dan kami percaya akan memberi kami akses informasi yang WHO sebut masih kurang saat ini.”
Butler mengaku tidak tahu apa tanggapan China terkait kebijakan wajib tes COVID-19 yang akan berlaku mulai 5 Januari tersebut.
Pemerintah Inggris memberlakukan aturan yang sama. Penumpang yang terbang langsung dari China diwajibkan menjalani tes COVID-19 sebelum keberangkatan mulai 5 Januari. Prancis juga menerapkan kebijakan yang lebih ketat.
Kepala Eksekutif Konfederasi Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris Matthew Taylor mendukung keputusan pemerintah.
“NHS berharap jangan sampai muncul varian baru COVID-19, yang bisa meningkatkan tingkat prevalensi dan keparahan gejala COVID mengingat situasi yang kita hadapi. Maka itu kami mendukung langkah-langkah pencegahan ini. Mudah-mudahan kebijakan ini tidak berlarut-larut karena kami berharap akan bisa memahami dengan pasti apa yang terjadi di China sesegera mungkin,” jelasnya.
Amerika Serikat juga memberlakukan hal serupa. Penumpang usia dua tahun ke atas yang terbang dari China, termasuk Hong Kong dan Makau, wajib menunjukkan hasil negatif tes COVID-19 yang dilakukan maksimal dua hari sebelum keberangkatan atau menunjukkan bukti telah sembuh dari COVID-19 dalam kurun 90 hari terakhir.
Sementara itu, Jepang sudah lebih dulu mewajibkan tes COVID-19 kepada seluruh penumpang yang tiba dari China. Dimulai Jumat (30/12) lalu, kebijakan itu merupakan langkah darurat untuk menghadapi lonjakan infeksi di China sekaligus kenaikan jumlah kasus infeksi di dalam negeri, yang juga mencatatkan jumlah kematian yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mereka yang dites positif akan dikarantina hingga tujuh hari di fasilitas yang ditunjuk dan sampel mereka akan digunakan untuk analisis genom.
India bahkan tidak hanya memberlakukan kewajiban menunjukkan hasil negatif tes COVID-19 kepada penumpang dari China, tetapi juga dari Singapura, Hong Kong, Thailand, Jepang dan Korea Selatan.
Menteri Kesehatan India Mansukh Mandaviya mencuit di Twitter pada 29 Desember lalu mengenai kewajiban untuk mengunggah hasil negatif tes RT-PCR pada portal daring pemerintah India mulai 1 Januari lalu menjelang kedatangan dari negara-negara tersebut.
Langkah itu diambil setelah keraguan terhadap transparansi data resmi pemerintah China menimbulkan kekhawatiran akan gelombang infeksi.
Jumat (30/12) lalu, media pemerintah China menyebut kewajiban tes COVID-19 yang diberlakukan berbagai negara terhadap orang-orang yang bepergian dari China bersifat “diskriminatif.”
China menolak kritik terhadap statistik COVID-19 di negaranya dan mengatakan bahwa pihaknya memperkirakan munculnya mutasi virus yang lebih menular, namun dengan gejala yang tidak terlalu parah.
China belum lama ini melonggarkan sebagian besar aturan pembatasan nol-COVID yang mengisolasi negara itu selama hampir tiga tahun dan mengumumkan pekan lalu bahwa pihaknya berencana kembali menerbitkan paspor dan visa untuk perjalanan ke luar negeri.
Hal itu dapat mendorong banyak warga China bepergian ke luar negeri selama liburan Tahun Baru Imlek bulan ini, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan terjadi penyebaran virus. [rd/jm]
Sebagian informasi dalam laporan ini berasal dari The Associated Press dan Reuters.
Forum