Bagi Ulfah Mahmudah, gender bukanlah isu yang sama sekali baru. Dia yang sudah duduk di bangku perguruan tinggi, mengaku cukup sering mendiskusikannya. Di sisi yang lain, Ulfah adalah santri putri di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam (PPTI) Al Falah, Salatiga, Jawa Tengah. Nah, di lingkungan inilah, soal-soal terkait keadilan gender sangat jarang dibicarakan.
Karena itu, dia antusias mengikuti delapan sesi program Sekolah Gender yang diselenggarakan di pesantrennya, dan baru saja berakhir. Dalam program ini, Ulfah berdiskusi bersama mengenai apa itu gender, pembahasan dari sisi agama dan juga psikologi. “Tidak hanya perempuan yang harus paham gender, tetapi juga laki-laki,” kata Ulfah.
Sebagai santri putri, Ulfah mengaku pesantrennya memberi porsi peran yang adil gender. Namun, berbicara mengenai sikap, santri laki-laki memang cenderung lebih mendominasi.
“Karena memang belum pernah mendapat pengetahuan tentang gender. Khususnya di lingkungan pesantren. Sejauh ini yang khusus isu gender belum ada di kurikulum. Sekarang tetap masih ada perbedaan peran santri laki-laki dan perempuan. Tidak terlalu terlihat, tetapi masih,” kata Ulfah Mahmudah.
Santri Perempuan Lebih Tertarik
Sayangnya, kata Ulfah, Sekolah Gender justru tidak menarik bagi santri laki-laki. Mereka beranggapan, soal-soal terkait keadilan gender hanya urusan perempuan. Meskipun program Sekolah Gender ini didukung sepenuhnya oleh pimpinan pondok, hanya tiga santri laki-laki mengikuti program sampai berakhir diantara puluhan peserta santri perempuan.
Siti Rofiah, pimpinan Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam (PPTI) Al Falah kepada VOA mengaku minimnya santri laki-laki yang tertarik mengikuti Sekolah Gender. “ Padahal ini kan bukan hanya soal perempuan, tetapi soal relasi. Kalau ada ketimpangan, berarti harus kedua belah pihak. Tetapi karena ini baru yang pertama, kita masih perlu lakukan perbaikan disana-sini. Jadi minimnya peserta santri laki-laki ini jadi catatan evaluasi,” kata Siti Rofiah.
Dia menambahkan, di satu sisi berat memberikan kesadarkan santri laki-laki di sisi lain ada tantangan bagi santri perempuan karena mereka merasa inferior. Santri perempuan biasanya merasa tidak pantas membahas isu keadilan gender, apalagi bersama santri laki-laki dalam satu kegiatan bersama.
Faktor budaya juga menjadi penghambat, apalagi pesantren tumbuh di lingkungan Nahdlatul Ulama. Relasi perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan tafsir yang sangat beragam.
Di balik tantangan itu, kata Siti, Sekolah Gender bagaimana pun adalah program strategis yang penting untuk menanamkan kesadaran adil gender di kalangan santri. Para santri kelak selesai belajar akan kembali ke masyarakat dan menjadi tokoh lokal. Pada titik inilah, santri memiliki posisi strategis dalam menyebarkan nilai-nilai keadilan gender itu.
“Tradisi yang sudah terbangun sejauh ini, di dalam lingkungan agama biasanya perempuan di belakang, jarang tampil. Sekarang sudah mulai banyak yang bergerak untuk mencoba mempromosikan nilai-nilai ini, dan sumber-sumbernya tidak diambil jauh-jauh. Karena kecenderungannya, kajian gender sumbernya diambil dari Barat. Sekarang kita mulai mengenalkan bahwa ada sumber dari ajaran Islam sendiri.”
Wacana adil gender masih asing di lingkungan pesantren. Faktor agama dan budaya memberikan tantangan tersendiri dalam penyadarannya. Menurut Siti, agama memiliki legitimasi teks. Di Sekolah Gender, santri diajak menyikapi teks itu dengan metode penafsiran yang berbeda yang hasilnya jauh lebih adil gender.
Tafsir Baru Ajaran Agama
Salah satu narasumber dalam Sekolah Gender ini adalah Wiwin Siti Aminah Rohmawati. Perempuan ini menjabat sebagai Wakil Direktur Pusat Studi Islam Asia Tenggara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Secara umum, kata Wiwin, tantangan terkait kesadaran adil gender di lingkungan pesantren kini lebih ringan dibanding 20 atau 30 tahun yang lalu. Namun, bukan berarti isu ini sudah diterima dengan baik. “Belum semua pesantren mau terbuka membicarakan relasi laki-laki dan perempuan. Dari 28 ribu lebih pesantren di Indonesia, saya tidak yakin 30 persennya sudah mau menerima isu gender masuk. Kalaupun sudah menerima, belum tentu mau melakukan pelatihan penyadaran gender bagi santrinya,” ujar perempuan yang juga aktif di Fatayat NU DIY ini.
Budaya patriarki diakuinya masih kental di pesantren. Ada ada perbedaan signifikan, pada pesantren yang diasuh kyai dan nyai dari kalangan muda. Berbeda dengan pimpinan pesantren yang memulai kiprahnya pada tahun 1960-1970an, kyai muda relatif terbuka dalam isu gender.
Pemisahan yang ketat antara santri laki-laki dan perempuan juga menjadi faktor. Tidak mudah untuk mendorong santri bicara ketika keduanya disatukan dalam satu forum. Padahal, isu ini harus dibicarakan bersama, untuk memahami sudut pandang masing-masing dan bersama-sama mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi.
Padahal pesantren sebenarnya tidak lalai dalam pembahasan ini. Banyak ayat-ayat dalam kitab suci yang dijadikan dasar pembahasan, meskipun kemudian faktor tafsir menjadi penentu pemahaman akhir.
“Mereka di pesantren diajarkan fiqih (hukum), banyak yang terkait khusus dengan laki-laki dan perempuan. Sangat detil diajarkan. Sebenarnya modal pesantren cukup banyak untuk membicarakan relasi perempuan dan laki-laki. Masalahnya pada, interpretasi mana yang disampaikan guru di pondok. Apakah punya perspektif gender atau tidak.”
Tafsiran itu penting, lanjut Wiwin, untuk memberi sudut pandang baru atas sebuah teks. Misalnya tafsir mengenai laki-laki sebagai pemimpn bagi perempuan. Dalam perpektif gender yang berwawasan luas, kalimat itu tidak dipahami secara kaku.
“Misalnya diterjemahkan bahwa seorang pemimpin itu otoriter terhadap perempuan dan harus mengatur, kan enggak. Harus membaca membaca kondisi dan situasi ketika ayat itu turun seperti apa,” tambahnya. [ns/ab]