Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, mengungkapkan selama pandemi corona pihaknya menerima laporan sebanyak 319 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban mencapai 321 orang. Ratusan aduan yang paling banyak dilaporkan adalah soal kekerasan seksual.
"Dari jumlah tersebut 62,93 persen korban adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemudian, bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual diikuti dengan fisik dan psikis," kata Maria dalam sebuah diskusi daring, Jumat (22/5).
Lanjutnya, pada masa pandemi corona anak juga tak luput menjadi korban kekerasan. Bahkan lagi-lagi kekerasan seksual terhadap anak mendominasi aduan yang masuk ke Komnas Perempuan. Tercatat 340 kasus dengan jumlah korban sebanyak 378 orang yang terdiri dari 104 anak laki-laki, dan 274 anak perempuan.
"Dalam hal kekerasan terhadap anak. Anak perempuan berlipat bahkan lebih banyak dibandingkan dengan kekerasan yang dialami anak laki-laki. Bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual diikuti kekerasan fisik dan psikis," ungkap Maria.
Tidak sampai di situ, kesulitan lain yang dialami para korban kekerasan adalah terkait dengan layanan pengaduan. Maria menuturkan selama masa pandemi corona para korban kekerasan tidak bisa mengadukan kasusnya untuk mendapatkan perlindungan lantaran banyaknya layanan pengaduan yang tutup.
"Sehingga mereka di antaranya ada yang membuka tapi pelayanannya online. Rujukan kasus tidak sepenuhnya didapatkan karena sebagian besar mereka tutup tidak menerima layanan," tuturnya.
Kemudian, Komnas Perempuan menjelaskan dalam situasi mendesak 'Rumah Aman' sangat dibutuhkan untuk memberikan rasa aman serta pemulihan mental bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Namun kata Maria, selama pandemi corona Rumah Aman sampai hari ini masih sulit diakses bagi para perempuan dan anak korban kekerasan.
"Ada jumlahnya tidak banyak. Ada beberapa yang bisa menerima dengan syarat yang cukup ketat di antaranya harus ada surat bebas corona. Sementara tidak ada rumah sakit, puskesmas, yang bisa diakses selama 24 jam secara gratis. Ini juga problem bagi korban kekerasan terhadap perempuan maupun anak," jelasnya.
Lebih lanjut, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan protokol perlindungan anak lintas sektor untuk perempuan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus di tengah pandemi corona. Namun, Komnas Perempuan mengkritisi protokol tersebut. Maria menilai dalam kondisi darurat seperti saat ini dibutuhkan protokol percepatan, dan kesiapsiagaan dalam penanganan perempuan serta anak korban kekerasan.
"Tapi kalau saya lihat di dalamnya, protokol itu bukan untuk kondisi darurat. Itu protokol yang dalam situasi belum darurat. Padahal dalam kondisi darurat butuh percepatan, kesiapsiagaan yang harus segera sehingga dampak terhadap korban kekerasan yang membutuhkan rumah aman itu sangat dibutuhkan. Namun, sampai sekarang pemerintah belum bisa memenuhi itu," ucap Maria.
Seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ada tiga Protokol Perlindungan Anak Lintas Sektor untuk Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus di tengah pandemi corona yang telah disetujui Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Protokol tersebut terdiri dari tata kelola data anak, pengasuhan anak, serta pengeluaran dan pembebasan anak melalui asimilasi termasuk integrasi, pembebasan tahanan, penangguhan penahanan, bebas murni.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam sebuah diskusi daring mengatakan perempuan dan anak yang paling rentan menjadi korban kekerasan. Atas hal itu disiapkan protokol khusus guna melindungi mereka.
"Ada beberapa protokol berkaitan dengan perempuan dan anak yang sudah kami bicarakan. Kemudian juga sudah dikeluarkan oleh gugus tugas untuk melindungi perempuan dan anak yang ada di seluruh Indonesia," kata Bintang. [aa/em]