Porsi keterwakilan perempuan di DPR RI pada periode 2019-2024 hanya mencapai sekitar 20 persen. Angka itupun diperoleh melalui perjuangan panjang untuk mengubah aturan hukum, upaya afirmasi, hingga kampanye khusus.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri, Senin (6/3), Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Lolly Suhenty menggelorakan semangat sisterhood untuk menekan ketimpangan keterwakilan perempuan. Lolly mengatakan ada empat langkah yang bisa diambil.
“Kita harus punya persepsi bahwa sisterhood itu nondiskriminasi. Dia inklusif, terbuka. Kita tidak lagi bicara soal muslim-non muslim, bicara soal hitam atau putih, bicara soal tinggi atau pendek. Tapi kita bicara soal Indonesia,” ujar Lolly.
Langkah kedua, lanjutnya, adalah dukungan dari aktivis, gerakan dan organisasi perempuan.
“Terkait sisterhood, harus ada saling dukung, tidak saling menghakimi. Semangat itu harus tetap tumbuh di teman-teman perempuan, gerakan perempuan, aktivis kepemiluan dan gerakan demokratis lainnya,” katanya.
Antar politisi perempuan, juga perlu menghindari sikap saling menyakiti dan menghakimi.
Sedangkan langkah keempat dalam semangat sisterhood adalah kolaborasi untuk memperkecil kompetisi yang tidak sehat. Pemilu, kata Lolly, memang ajang kompetisi positif. Namun, dia mengingatkan dalam penyelenggaraannya kompetisi di lingkungan politisi perempuan harus dipenuhi semangat kolaborasi.
Setiap pihak, baik politisi maupun pemilih perempuan harus bekerja sama menyukseskan agenda yang sama di 2024. Lolly bahkan menyebut angka keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen sebagai peningkatan dari kondisi saat ini.
Data Cukup Baik
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Daftar Calon Tetap (DCT) dalam dua pemilu terakhir memang menunjukkan peningkatan partisipasi politisi perempuan. Pada 2014, ada 2.340 nama perempuan dalam daftar, sedang pada 2019 terdapat 3.200 nama. Dari 575 kursi di DPR, pada 2019 ada 120 perempuan berhasil masuk Senayan (20,87 persen). Sementara pada 2014, dari 260 kursi yang disediakan, hanya 97 politisi perempuan berhasil duduk di DPR (17,32 persen).
Di DPRD provinsi seluruh Indonesia, tersedia 2.207 kursi untuk diperebutkan pada 2019 dengan 391 kursi diduduki perempuan (17,72 persen). Sedangkan di seluruh DPRD kabupaten/kota, ada 17.340 kursi diperebutkan, dengan 2.646 kursi diduduki perempuan (15,25 persen).
Data Puskapol UI menyebut dari 120 perempuan di DPR, 48 orang di antaranya terpilih karena berada di nomor urut pertama, dan 25 orang lainnya berada di nomor urut kedua. Sebanyak 12 orang berada di nomor urut ketiga dan 15 orang ada di nomor urut lebih dari 3, dalam Daftar Calon Tetap. Karena itulah, nomor urut masih menjadi persoalan besar bagi keterpilihan perempuan di parlemen. Mayoritas partai menempatkan nama politisi perempuan di nomor urut besar.
Kolaborasi Caleg Perempuan Penting
Direktur eksekutif lembaga riset Algoritma Dr Aditya Perdana menyebut politisi perempuan dan pemilih perempuan sama-sama harus berkontribusi dalam upaya ini.
Partisipasi perempuan sebagai calon legislatif (caleg) misalnya, adalah berjuang memperoleh nomor jadi di daftar yang dikeluarkan partai.
“Yang menjadi harapannya adalah pengawalan. Pengawalan bagaimana caranya, agar nama caleg perempuan itu berada di dalam nomor urut atas. Itu yang penting,” papar Aditya.
Penting juga bagi caleg perempuan yang berasal dari satu partai yang sama untuk berkolaborasi. Jangan sampai, sesama caleg perempuan justru berebut suara di daerah pemilihan dengan cara yang saling menjatuhkan.
“Agar mereka tidak gondok-gontokan, tapi saling support satu sama lain. Sisterhood-nya bisa dijaga,” kata Aditya lagi.
Di lingkungan caleg perempuan, Aditya juga merekomendasikan adanya pelatihan baik dari pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan untuk peningkatan kapasitas dan kualitas.
Di sisi lain, Aditya juga mendorong perempuan untuk aktif dalam lembaga-lembaga adhoc penyelenggaraan pemilu, baik di tingkat kelurahan dan kecamatan. Peran ini penting untuk memberikan dukungan penuh pada upaya peningkatan partisipasi perempuan.
Sementara di lingkungan pemilih, mengoptimalkan sosialisasi terkait pemilu bagi perempuan menjadi langkah krusial.
Dalam survei nasional yang diselenggarakan Algoritma pada Desember 2022, ada 74 persen responden yang tidak tahu jadwal hari pencoblosan. Hanya sekitar delapan persen responden yang tepat menyebut tanggal pencoblosan dan sekitar 15 persen tahu bulan penyelenggaraan pemilu, tetapi tidak tahu tanggal tepatnya.
“Saya menyarankan, semua pihak yang berkepentingan dalam konteks pemilu bisa mengoptimalkan sosialisasi hari pemilu secara maksimal,” kata Aditya.
Upaya ini bisa dilakukan melalui sosialisasi melalui media perantara, seperti media sosial, ataupun sosialisasi langsung dalam pertemuan dengan masyarakat. Kerja sama dengan organisasi perempuan secara khusus juga bisa dijalin. Selain itu, penyertaan figur publik yang populer di kalangan perempuan juga bisa dilakukan.
Kualitas Diklaim Lebih Baik
Politisi senior Partai Golkar Hetifah Sjaifudian menjamin perempuan yang terpilih duduk di parlemen, rata-rata memiliki kualitas baik.
“Sebenarnya ada data yang mengatakan, perempuan yang akhirnya terpilih, sebenarnya banyak yang lebih berkualitas dan mereka menggeser laki-laki yang medioker,” ujarnya.
Hetifah yang tiga periode menjabat sebagai anggota DPR ini bahkan meyakini, peningkatan persentase wakil rakyat perempuan akan memperbaiki kualitas parlemen.
“Kalau jumlah perempuan dari 20 persen naik menjadi 25 persen, dari sisi pendidikan maupun hal lain termasuk kompetensi, mereka akan menggeser laki-laki yang biasa-biasa saja, yang kurang bagus. Jadi berarti, kondisi parlemen secara keseluruhan pasti akan jadi lebih bagus, kalau lebih banyak perempuan yang masuk,” paparnya.
Politisi perempuan penting karena dia mewarnai kebijakan pemerintah. Dalam kajian-kajian terkait dampak pandemi misalnya, politisi perempuan memperjuangkan anggaran penanganan dari sudut pandang perempuan. Tren ini penting agar apa yang diprogramkan pemerintah bisa mencapai tujuan. Kondisi itu disebut Hetifah sebagai representasi yang lebih substantif.
“Mungkin masyarakat pun masih bertanya-tanya, kalau sekarang kita memilih lebih banyak perempuan, apakah kita akan yakin bahwa mereka akan melakukan sesuatu yang berbeda secara substantif,” ujarnya mengomentasi kondisi yang ada.
Karena itulah, tantangan bagi politisi perempuan yang saat ini ada di parlemen adalah menghadirkan kebijakan yang benar-benar dirasakan perempuan sendiri.
Hetifah juga menyebut data di DPR, yang menyebut bahwa perempuan anggota DPR lebih rajin hadir dalam kegiatan lembaga itu. Selain itu, anggota DPR perempuan juga lebih sering mengunjungi konstituen di daerah pemilihan.
“Mereka juga banyak mengemukakan hal-hal yang menjadi kepentingan masyarakat dan khususnya kaum marginal dan kelompok perempuan sendiri. Mereka banyak mengusulkan legislasi ataupun budget yang berbasis gender tertentu, ataupun kelompok sosial tertentu yang membutuhkan,” urainya.
Sejumlah Masalah bagi Perempuan
Dalam diskusi ini, ada sejumlah persoalan yang butuh diselesaikan dalam kaitan perempuan dan pemilu. Pada tahap kampanye misalnya, Indonesia belum memiliki aturan kampanye yang bisa memidanakan tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, misalnya ungkapan-ungkapan misoginis dalam kegiatan kampanye.
Masalah kedua adalah anak dalam kegiatan kampanye lapangan yang dilarang ikut. Sementara perempuan, di sisi lain harus mendampingi anak-anak mereka. Persoalan ini memang tidak sederhana, tetapi butuh penyelesaian agar perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk menyerap informasi politik melalui kampanye.
Politisasi agama juga masih mengemuka, misalnya menyebabkan banyak perempuan sulit menang dalam proses pilkada. Selain itu, perempuan juga menjadi target tindak politik uang.
Dalam tahap pencalonan, sejauh ini perhatian baru ada pada pemenuhan syarat pencalonan, belum sampai pada upaya keterpilihan. Memasukkan perempuan dalam daftar calon, lebih disebabkan untuk memenuhi syarat administratif. Tidak mengherankan jika partai menempatkan mayoritas caleg perempuan di nomor besar.
Pada tahap pemilihan, relasi kuasa juga menghambat perempuan untuk menentukan pilihan sendiri. Masih banyak perempuan memilih caleg, berdasarkan nama yang dipilih oleh suami atau pasangan mereka. Isu lain adalah kampanye perempuan memilih perempuan yang terus digaungkan selama ini belum memperoleh hasil. [ns/ah]
Forum