Pandemi COVID-19 telah mengungkap ketidakadilan distribusi vaksin yang mencolok di antara negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah dan menekankan ketergantungan Afrika pada negara-negara luar untuk mendapatkan suntikan.
Sebuah inisiatif baru di Senegal kini diharapkan dapat mengurangi ketidaksetaraan tersebut dan membuat Afrika tidak menggantungkan diri pada sumbangan vaksin.
Senegal memberikan vaksin dosis pertamanya kepada publik pada Maret 2021, berbulan-bulan setelah vaksin COVID-19 tersedia di negara-negara Barat. Sejak itu, pasokan vaksin berulang kali habis di Senegal dan negara-negara Afrika lainnya yang mengandalkan komunitas internasional untuk memperoleh vaksin, memaparkan ketidaksetaraan yang mencolok antara negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah.
Saat ini, hanya 11 persen warga Afrika yang telah divaksinasi penuh, dibandingkan dengan 64 persen di Amerika Serikat dan 72 persen di Inggris.
Tetapi para ilmuwan ingin mengubah situasi tersebut. Pekan lalu, para ilmuwan di Afrika Selatan mengumumkan telah berhasil membuat salinan vaksin Moderna, dan inisiatif baru di Institut Pasteur di Dakar berada di jalur yang sama.
Lembaga ini telah bermitra dengan BioNTech untuk membangun fasilitas produksi untuk vaksin mRNA-nya. “Afrika entah bagaimana sedikit tertinggal dalam hal pasokan vaksin,” kata Amadou Sall, direktur Institut Pasteur Dakar.
“Kebutuhan untuk memastikan bahwa kita memiliki kendali atas pasokan kita adalah sesuatu yang sangat penting dalam hal keamanan kesehatan. Tingkat perlindungan yang berbeda di berbagai belahan dunia tidak akan membantu mengendalikan dan mengakhiri pandemi ini.”
Afrika saat ini mengimpor 99 persen dari semua vaksinnya. Fasilitas baru ini dijadwalkan akan dibuka pada akhir tahun dan dapat memproduksi 300 juta dosis vaksin COVID setiap tahunnya.
Lembaga itu berharap untuk memproduksi vaksin tidak hanya untuk pandemi berikutnya, tetapi juga untuk penyakit endemik seperti campak dan polio. [my/jm]