Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel berada di Kecamatan Sedayu, Bantul, DI Yogyakarta. Pembacaan gugatan dilangsungkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, Kamis (21/11). Puluhan warga Kampung Gunung Bulu, di mana gereja itu ada, datang ke pengadilan menyuarakan aspirasi. Mereka mendukung keputusan Bupati Bantul Suharsono yang membatalkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja tersebut, pada Juli 2019 lalu.
Yogi Zul Fadhli, pengacara dari LBH Yogyakarta yang membela Sitorus seusai sidang mengatakan Bupati Bantul telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Salah satu asas pemerintahan yang baik, adalah asas kepastian hukum.
“Kami melihat bahwa dicabutnya IMB Gereja Sedayu ini telah melanggar hak Pak Sitorus, di mana Pak Sitorus kemudian kehilangan kepastian hukumnya, karena sebelumnya kan sudah terbit IMB untuk mendirikan rumah ibadah, tapi tiba-tiba di belakang hari oleh bupati dicabut tanpa proses verifikasi terlebih dahulu,” kata Yogi.
Gugatan itu sendiri didaftarkan Sitorus pada 21 Oktober 2019. Menurut laman informasi perkara di PTUN DIY, penggugat menuntut pengadilan menyatakan bupati Bantul telah menerbitkan surat yang bertentangan dengan peraturan perundang-perundangan, perlindungan hak asasi manusia, dan asas umum pemerintahan yang baik. Selain itu, dalam gugatan juga disebutkan bahwa Sitorus menginginkan Lampiran C nomor 11, Surat Keputusan Bupati Bantul Nomor 82 Tahun 2018 tetap sah dan berlaku. Di lampiran itulah, nama GPdI Immanuel Sedayu tertulis sebagai salah satu tempat ibadah yang menerima IMB dalam program pemutihan izin pada 2018.
Yogi menambahkan, pencabutan IMB tidak dilakukan dengan verifikasi yang berimbang. Bupati melandaskan verifikasi pada data di Kementerian Agama. Sementara kementerian ini dinilai tidak pernah melakukan proses verifikasi yang berimbang di lapangan. Yogi mengklaim, sejak 1997 Sitorus telah menggunakan bangunan itu sebagai tempat ibadah.
“Ada beberapa UU yang dilanggar oleh bupati. Pertama, UU 39 tahun ‘99 tentang hak asasi manusia. Kedua, ada kovenan hak-hak sipil politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU 12, tahun 2005. Ketiga, ada UU penghapusan diskriminasi rasial. Keempat, UU tentang Izin Mendirikan Bangunan. Kelima, UU tentang pembentukan peraturan perundangan,” tambah Yogi.
Sejarah Pendirian Gereja
Dari beberapa sumber, sejarah pendirian gereja ini memiliki dua versi yang berbeda. Menurut Yogi, Sitorus membangun rumah pada 1997, dan mulai memfungsikannya sebagai tempat ibadah. Versi warga setempat, bangunan baru berdiri pada 2003 dan saat itu pula, Sitorus membuat surat kesepakatan, bahwa tempat tinggal itu tidak diperuntukkan sebagai tempat ibadah.
Masalah bermula ketika pada Januari 2019, GpdI Immanuel Sedayu termasuk salah satu tempat ibadah yang menerima IMB. Sejak izin itu keluar, Sitorus memfungsikan rumahnya itu juga sebagai gereja. Warga sekitar pun melakukan penolakan yang berujung pada keputusan Bupati Bantul mencabut IMB yang sudah diberikan. Bupati beralasan, gereja tidak boleh sekaligus menjadi rumah tinggal Sitorus. Selain itu, menurut laporan warga, ibadah yang dilakukan juga tidak terjadwal pasti.
Suparman, Kepala Bagian Hukum Pemda Bantul meyakini pencabutan IMB itu tepat.
"Yang jelas, kami tetap akan sesuai dengan apa yang telah kami putuskan. Putusan Pak Bupati sudah betul. Karena kami ini sebetulnya memberikan dispensasi. Yang kita berikan dispensasi itu sudah luar biasa banyak. Gereja Katolik sekitar 45, kemudian Gereja Kristen itu yang dulu nggak punya IMB ada sekitar 24. GPdI Sedayu ini salah satu di antara 24 yang kemudian ternyata di dalam proses pengajuannya, ada kekeliruan menurut kami,” kata Suparman.
Pada 2018, Pemda Bantul memang mengadakan program pemutihan IMB bagi tempat ibadah. Selain 45 gereja Katolik dan 24 gereja Kristen, setidaknya ada 700 masjid dan 4 pura menerima IMB secara serentak. Akhir tahun proses itu selesai, dan GPdI Immanuel menerima IMB pada 15 Januari 2019. Warga kemudian mempermasalahkannya, dan enam bulan kemudian bupati membatalkan IMB itu.
Warga: Dulu Rumah Biasa
Hanif Suprapto, perwakilan warga yang ditemui usai sidang mengatakan, secara prosedural IMB gereja tersebut memang tidak sesuai. Dia berani memastikan, bangunan tersebut sejak awalnya bukan tempat ibadah, tetapi tempat tinggal. Surat kesepakatan yang ditandatangani warga dan Sitorus meneguhkan fakta itu.
Hanif menyebut, rumah itu dibangun pada 2003 itu. Setelah jadi, warga setempat mengadakan rapat dan sepakat menanyakan fungsinya kepada Sitorus.
“Dan ketika itu Pak Sitorus sudah setuju, sudah nggak masalah dan berlangsung terus. Dari dulu nggak dipakai untuk tempat ibadah, tetapi sebagai rumah. Ya kalau memang mengundang teman-temannya, misalnya dia ada acara ulang tahun, acara syukuran atau apa itu memang ada. Tapi untuk wujud sebagai tempat ibadah, itu tidak ada,” tegas Hanif.
Baru setelah IMB keluar, barulah Sitorus melengkapi furnitur di dalamnya agar berfungsi sebagai gereja. Sejak itulah, warga mempertanyakan kesepakatan yang dibuat pada 2003 lalu. Warga juga menyangsikan keluarnya IMB rumah ibadah.
“Jadi justru kita juga bertanya-tanya, kok bisa IMB itu muncul. Dari situ kita mencurigai prosesnya bagaimana. Itu jangan-jangan dia main di belakang, karena dari awal kesepakatannya dia dengan warga tidak menggunakannya untuk tempat ibadah,” lanjut Hanif.
Hanif sendiri datang ke PTUN DIY bersama puluhan tetangganya. Mereka mendukung keputusan Bupati Bantul mencabut IMB GPdI Immanuel Sedayu. Hanif bersikeras, tidak ada jamaah Sitorus di kawasan itu, karena yang datang ke gereja justru warga dari jauh. [ns/ab]