BANGKOK —
Ketegangan terus meningkat di Asia akibat sengketa-sengketa wilayah maritim. Korea Selatan telah melanjutkan latihan militer dekat pulau yang dikuasainya meski ada protes dari Jepang, yang juga mengklaim wilayah tersebut. Dan China juga memasang anjungan minyak kedua di perairan dekat Vietnam tempat kedua negara berseteru terlibat dalam persengketaan yang berlarut-larut.
Angkatan Laut Korea Selatan mengatakan pihaknya melakukan latihan tembak di pesisir timur untuk meningkatkan kemampuan untuk mengusir kemungkinan serangan dari kapal selam Korea Utara.
Kantor berita Yonhap mengatakan latihan-latihan itu telah dilakukan di perairan tersebut secara teratur, namun sekarang ini untuk pertama kalinya militer mengumumkannya secara publik.
Hal itu memicu tanggapan keras dari Jepang, yang mengklaim bahwa lokasi latihan militer Korea Selatan tersebut mencakup perairan wilayah Jepang.
Daerah itu dekat sebuah pulau yang dikelola selama puluhan tahun oleh Korea Selatan, yang menyebutnya Dokdo, atau yang disebut orang Jepang sebagai Takeshima.
Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga menyebut latihan militer Korea Selatan tersebut sesuatu yang tidak dapat diterima dan sangat disayangkan. Pihak Tokyo mendesak agar mereka membatalkan latihan tersebut, ujarnya.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan Wi Yong-seop mengatakan Seoul “tidak akan mempertimbangkan tuntutan atau campur tangan apa pun" dari Jepang dalam hal ini, dengan menambahkan bahwa latihan itu terus berjalan sesuai rencana.
Awal pekan lalu, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menginspeksi salah satu unit angkatan lautnya, dan dikutip media pemerintah dengan mengatakan para komandan militer dan pelaut agar berhati-hati terhadap "musuh yang penuh kebencian" dan menunggu peluang untuk menyerang.
Sementara itu, 3.000 kilometer ke selatan, peningkatan aktivitas maritim China terus menarik perhatian dan kekhawatiran kuat dari Vietnam.
Badan Keselamatan Maritim China telah mengumumkan bahwa anjungan minyak yang kedua, Nanhai-9, telah dipasang di perairan yang berjarak sama dari Pulau Hainan di China dan pesisir tengah Vietnam.
Anjungan di Teluk Tonkin, tempat tidak adanya konsensus untuk demarkasi perbatasan, tersebut lebih jauh letaknya dari kepulauan Paracel yang diperebutkan, dibandingkan anjungan minyak yang pertama.
Penempatan anjungan pertama, Haiyang Shiyou-981, awal bulan lalu memicu ketegangan antara Beijing dan Hanoi, dengan tuduhan kapal saling menabrak kapal lain dari masing-masing negara. Hal ini juga memicu kerusuhan anti-China di Vietnam.
Dalam rapat akhir pekan lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan tidak ada alasan bagi negara-negara lain untuk marah karena China memasang lebih banyak anjungan minyak di Laut China Selatan.
"Lihat peta dengan seksama dan Anda akan melihat sangat jelas bahwa anjungan-anjungan tersebut betul-betul ada di perairan dekat provinsi Hainan dan Guangdong di China," ujarnya.
"Jadi tidak perlu ada analisis yang berlebihan atau imajinasi yang terlalu aktif atas aktivitas-aktivitas yang normal ini."
Diskusi bilateral mengenai hal ini di Hanoi dilaporkan tidak memberikan kemajuan.
China mengambil kepulauan Paracel dari Vietnam Selatan pada 1974. Vietnam dan China kemudian terlibat perang perbatasan darat lima tahun kemudian.
Beijing mengklaim praktis seluruh wilayah Laut China Selatan, perairan yang kaya akan sumber daya alam.
Selain Vietnam dan China, lima negara lainnya -- Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Taiwan -- memiliki klaim yang bertentangan di Laut China Selatan.
Peningkatan ketegangan ini juga memicu kekhawatiran dari negara-negara di wilayah ini yang tidak terlibat dalam sengketa, termasuk Australia. Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop kepada VOA mengatakan meski negaranya tidak mengambil sikap dalam klaim-klaim ini, mereka ingin penyelesaian dilakukan tanpa kekerasan.
"Kami mengimbau semua pihak untuk bernegosiasi dan menyelesaikan masalah-masalah sesuai dengan aturan internasional. Negara-negara ASEAN sedang mengusulkan tata perilaku dengan China dan kami mendukung keputusan kebijakan tersebut," ujar Bishop.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China baru-baru ini mengatakan Beijing bersedia untuk bekerjasama dengan ASEAN untuk berkonsultasi mengenai tata perilaku maritim. Sebuah pertemuan dijadwalkan untuk dilakukan di Bali pekan ini.
Para analis ragu China akan sepakat dengan aturan apapun yang mengikat. Mereka mengatakan sebuah kesepakatan akan menghambat kemampuan China untuk memproyeksikan kekuatan mereka di laut melalui patroli maritim dan latihan angkatan laut.
Angkatan Laut Korea Selatan mengatakan pihaknya melakukan latihan tembak di pesisir timur untuk meningkatkan kemampuan untuk mengusir kemungkinan serangan dari kapal selam Korea Utara.
Kantor berita Yonhap mengatakan latihan-latihan itu telah dilakukan di perairan tersebut secara teratur, namun sekarang ini untuk pertama kalinya militer mengumumkannya secara publik.
Hal itu memicu tanggapan keras dari Jepang, yang mengklaim bahwa lokasi latihan militer Korea Selatan tersebut mencakup perairan wilayah Jepang.
Daerah itu dekat sebuah pulau yang dikelola selama puluhan tahun oleh Korea Selatan, yang menyebutnya Dokdo, atau yang disebut orang Jepang sebagai Takeshima.
Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga menyebut latihan militer Korea Selatan tersebut sesuatu yang tidak dapat diterima dan sangat disayangkan. Pihak Tokyo mendesak agar mereka membatalkan latihan tersebut, ujarnya.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan Wi Yong-seop mengatakan Seoul “tidak akan mempertimbangkan tuntutan atau campur tangan apa pun" dari Jepang dalam hal ini, dengan menambahkan bahwa latihan itu terus berjalan sesuai rencana.
Awal pekan lalu, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menginspeksi salah satu unit angkatan lautnya, dan dikutip media pemerintah dengan mengatakan para komandan militer dan pelaut agar berhati-hati terhadap "musuh yang penuh kebencian" dan menunggu peluang untuk menyerang.
Sementara itu, 3.000 kilometer ke selatan, peningkatan aktivitas maritim China terus menarik perhatian dan kekhawatiran kuat dari Vietnam.
Badan Keselamatan Maritim China telah mengumumkan bahwa anjungan minyak yang kedua, Nanhai-9, telah dipasang di perairan yang berjarak sama dari Pulau Hainan di China dan pesisir tengah Vietnam.
Anjungan di Teluk Tonkin, tempat tidak adanya konsensus untuk demarkasi perbatasan, tersebut lebih jauh letaknya dari kepulauan Paracel yang diperebutkan, dibandingkan anjungan minyak yang pertama.
Penempatan anjungan pertama, Haiyang Shiyou-981, awal bulan lalu memicu ketegangan antara Beijing dan Hanoi, dengan tuduhan kapal saling menabrak kapal lain dari masing-masing negara. Hal ini juga memicu kerusuhan anti-China di Vietnam.
Dalam rapat akhir pekan lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan tidak ada alasan bagi negara-negara lain untuk marah karena China memasang lebih banyak anjungan minyak di Laut China Selatan.
"Lihat peta dengan seksama dan Anda akan melihat sangat jelas bahwa anjungan-anjungan tersebut betul-betul ada di perairan dekat provinsi Hainan dan Guangdong di China," ujarnya.
"Jadi tidak perlu ada analisis yang berlebihan atau imajinasi yang terlalu aktif atas aktivitas-aktivitas yang normal ini."
Diskusi bilateral mengenai hal ini di Hanoi dilaporkan tidak memberikan kemajuan.
China mengambil kepulauan Paracel dari Vietnam Selatan pada 1974. Vietnam dan China kemudian terlibat perang perbatasan darat lima tahun kemudian.
Beijing mengklaim praktis seluruh wilayah Laut China Selatan, perairan yang kaya akan sumber daya alam.
Selain Vietnam dan China, lima negara lainnya -- Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Taiwan -- memiliki klaim yang bertentangan di Laut China Selatan.
Peningkatan ketegangan ini juga memicu kekhawatiran dari negara-negara di wilayah ini yang tidak terlibat dalam sengketa, termasuk Australia. Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop kepada VOA mengatakan meski negaranya tidak mengambil sikap dalam klaim-klaim ini, mereka ingin penyelesaian dilakukan tanpa kekerasan.
"Kami mengimbau semua pihak untuk bernegosiasi dan menyelesaikan masalah-masalah sesuai dengan aturan internasional. Negara-negara ASEAN sedang mengusulkan tata perilaku dengan China dan kami mendukung keputusan kebijakan tersebut," ujar Bishop.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China baru-baru ini mengatakan Beijing bersedia untuk bekerjasama dengan ASEAN untuk berkonsultasi mengenai tata perilaku maritim. Sebuah pertemuan dijadwalkan untuk dilakukan di Bali pekan ini.
Para analis ragu China akan sepakat dengan aturan apapun yang mengikat. Mereka mengatakan sebuah kesepakatan akan menghambat kemampuan China untuk memproyeksikan kekuatan mereka di laut melalui patroli maritim dan latihan angkatan laut.