Amerika Serikat (AS), Inggris dan Kanada pada Senin (31/1) mengumumkan sanksi terkoordinasi terhadap para pejabat Myanmar, sementara junta mengajukan dakwaan baru terhadap Aung San Suu Kyi, satu tahun setelah berhasil menggulingkan peraih Nobel tersebut dalam sebuah kudeta.
Suu Kyi, 76, telah ditahan sejak kudeta 1 Februari 2021, yang memicu protes massal dan tindakan keras pemerintah terhadap perbedaan pendapat dengan lebih dari 1.500 warga sipil tewas, menurut kelompok pemantau lokal.
Pihak junta militer kini mendakwa Suu Kyi telah memengaruhi para pejabat pemilu dalam pemilihan 2020, kata sebuah sumber, di atas tuduhan-tuduhan sebelumnya, termasuk melanggar undang-undang rahasia negara itu.
Jika terbukti bersalah atas semua tuduhan, Suu Kyi itu bisa menghadapi hukuman lebih dari 100 tahun penjara.
Menjelang peringatan kudeta pada Selasa (1/2), junta memperingatkan bahwa mengadakan protes atau berbagi tentang “propaganda” menentang militer dapat mengarah pada tuduhan di bawah undang-undang anti-terorisme.
Amerika Serikat menandai satu tahun sejak kudeta dengan menjatuhkan sanksi kepada Jaksa Agung Thida Oo, Ketua Mahkamah Agung Tun Tun Oo dan ketua Komisi Anti-Korupsi Tin Oo, yang dikatakan terlibat erat dalam penuntutan “bermotif politik” atas Suu Kyi.
“Kami mengoordinasikan tindakan ini dengan Inggris dan Kanada... untuk lebih menggalakkan pertanggungjawaban atas kudeta dan kekerasan yang dilakukan oleh rezim tersebut,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.
“Amerika Serikat akan terus mempersoalkan pelanggaran hak asasi manusia dan menekan rezim untuk menghentikan kekerasan, membebaskan semua yang ditahan secara tidak adil, mengizinkan akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan memulihkan Burma menuju demokrasi,” tambahnya, seraya menggunakan nama lama Myanmar.
Junta militer membatalkan hasil pemilu 2020 pada Juli tahun lalu, dengan alasan telah menemukan sekitar 11,3 juta kasus penipuan.
Para pemantau independen mengatakan pemilu itu sebagian besar berjalan bebas dan adil. [lt/em]