Setahun setelah kudeta militer di Myanmar, militer tetap berkuasa dan para pemimpin yang dipilih secara demokratis menghadapi hukuman penjara yang lama, sementara rakyat terus melawan perebutan kekuasaan oleh militer itu.
Myanmar terperosok dalam kekacauan dan kekerasan sejak militer menolak hasil pemilu November 2020 dan menggulingkan pemerintah sipil pada 1 Februari tahun lalu.
Kelompok HAM mengatakan, sekitar 1.500 warga sipil termasuk puluhan anak-anak tewas dan ribuan lainnya ditangkap dalam tindakan keras oleh militer terhadap pengunjuk rasa.
Namun, kekerasan itu tidak menurunkan tekad rakyat untuk menuntut kembalinya demokrasi.
Pelapor Khusus PBB Urusan Myanmar,Tom Andrews mengatakan, “Saya kagum pada rakyat Myanmar dan yakin bahwa ini mengejutkan Jendral Min Aung Hlaing dan junta militer, yang mengira mereka bisa lolos begitu saja.”
Militer menangkap, mengadili, dan menghukum pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint, dan pejabat tinggi lain dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi.
Panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing menghadiri pertemuan puncak ASEAN di Indonesia bulan April lalu. Ia setuju untuk menerapkan rencana lima hal yang mencakup, mengakhiri kekerasan dan memulai dialog nasional. Janji itu tidak ditepati.
Dewan Keamanan PBB tidak mengambil tindakan. Pemegang hak veto China dan Rusia tidak ingin militer Myanmar dikenai sanksi atau embargo senjata.
Tanpa tindakan dewan PBB pada 18 Juni, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang pada dasarnya mendesak embargo senjata. Tetapi resolusi itu tidak mengikat secara hukum.
Direktur Grup Krisis Internasional PBB, Richard Gowan mengatakan, “Saya pikir lembaga-lembaga internasional termasuk PBB dan ASEAN, macet dan tidak ada cara yang jelas bagi Dewan Keamanan atau badan internasional lain unuk menekan militer Myanmar untuk membalikkan kudeta.”
Tanpa embargo senjata internasional atau sanksi ekonomi yang ditujukan untuk menekan para Jenderal, maka rakyat Myanmar mulai melawan.
Kekerasan berkembang di seluruh Myanmar antara militer dan kelompok bersenjata etnis, membuat ratusan ribu orang terpaksa mengungsi.
Amerika menjatuhkan sanksi terhadap tiga pejabat tinggi kehakiman Myanmar hari Senin, pada peringatan satu tahun kudeta militer yang menurut AS mengekang demokrasi dan hukum.
Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua Komisi Anti-Korupsi yang menurut AS terlibat dalam penuntutan "bermotif politik" terhadap pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi. [ps/jm]