Taliban dan Amerika telah mencapai kesepakatan langka yang akan memungkinkan sebagian pasukan AS meninggalkan Afghanistan, dan membuka jalan bagi dialog dengan pemerintah Afghanistan yang bisa menjadi proses bersejarah untuk menyelesaikan konflik di negara itu yang sudah berlangsung lama.
Di Somalia, beberapa pengamat mempertanyakan: Mungkinkah ini menjadi model untuk mengakhiri perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok jihad seperti al-Shabab untuk ISIS? Apakah al-Shabab akan bersedia bernegosiasi?
Al-Shabab mendukung Taliban dan menyebut pemimpinnya "Amir al-Mu'minin" (Pemimpin Orang Beriman). Tetapi para ahli terpecah tentang apakah kelompok itu akan mencontoh Taliban dan melakukan pembicaraan terbuka dengan Uni Afrika, yang memiliki pasukan di Somalia, dan pemerintah Somalia yang menjadi tuan rumah pasukan Uni Afrika.
Seorang ulama terkemuka Salafi yang mencoba menengahi pembicaraan antara al-Shabab dan pemerintah Somalia pada 2009 mengatakan kelompok itu sekarang lebih ekstrem daripada sebelumnya dan tidak mungkin menerima penyelesaian hasil negosiasi.
"Tidak, Saya tidak memperkirakan demikian," kata Sheikh Ali Warsame, ketika ditanya apakah al-Shabab akan terbuka untuk bernegosiasi.
Warsame bukan sembarang negosiator. Ia adalah salah seorang pendiri dan pemimpin pertama al-Itihad al-Islam yang sekarang tidak berfungsi, organisasi Salafi yang melahirkan banyak pemimpin al-Shabab, termasuk amir kelompok ini sekarang, Ahmed Diriye, yang juga dikenal sebagai Abu Ubaidah.
Warsame mengatakan kepada VOA Somali bahwa selama perundingannya, kebuntuan berasal dari dua poin penting, satu ideologi dan satu politik. Dalam hal ideologi, banyak pemimpin kelompok tidak mau mundur dari ideologi Takfir, yang mendorong kelompok itu untuk menyebut semua orang di pemerintahan dan pendukungnya telah meninggalkan Islam.
Dalam hal politik, al-Shabab menolak untuk bernegosiasi kecuali pasukan Uni Afrika meninggalkan negara itu. Warsame dan para perunding lainnya tidak menyepakati tuntutan ini.
Pakar lainnya berpendapat Al Shabab bisa diajak bernegosiasi.
Afyare Elmi, seorang profesor studi keamanan di Universitas Qatar, yakin negosiasi al-Shabab masih bisa dilakukan, meskipun peluang itu dilewatkan pada tahun 2009.
"Pada prinsipnya, negosiasi dengan al-Shabab tidak bisa dihindari," katanya. "Satu-satunya pilihan lain adalah mengalahkan mereka," ujarnya.
Elmi yakin kelompok itu mengakomodasi unsur-unsur dengan pendapat yang berbeda, dan mengatakan menurutnya tidak semuanya memiliki sikap ideologis yang sama.
Al-Shabab, sepanjang sejarahnya tidak pernah menyerukan gencatan senjata. Kelompok ini juga tampaknya sangat curiga dengan dialog. Hanya sekali, pada Januari 2018, berkomentar secara terbuka mengenai sikapnya dalam dialog. Ketika itu, juru bicara Al Shabab Ali Mohamud Dhere mengatakan dialog "lebih berbahaya daripada senjata pemusnah massal." [my/jm]