FOUNTAIN, COLORADO —
Awalnya, Jeremy dan Kathryn Mathis tidak terlalu memikirkan perilaku anak laki-lakinya Coy, yang tidak menyukai mainan mobil-mobilan dan mengambil selimut merah muda milik adik perempuannya.
Kemudian Coy mengatakan ia hanya ingin memakai baju anak perempuan. Di sekolah, ia kesal karena gurunya bersikeras menyuruhnya berbaris dengan anak laki-laki. Coy lalu mengalami depresi dan akhirnya meminta orangtuanya untuk membawanya ke dokter untuk “diperbaiki.”
Pasangan Mathis diberitahu dokter bahwa Coy mengalami gangguan identitas gender – sebuah kondisi dimana seseorang mengidentifikasi diri mereka sebagai lawan jenis. Mereka kemudian memutuskan membantu Coy hidup sebagai perempuan, dan hal itu telah membuatnya lebih baik.
“Kita bisa saja memaksanya menjadi seseorang yang bukan dirinya, namun hal itu akan merusaknya secara emosi dan merusak hubungan kami dengannya,” ujar Kathryn Mathis.
“Sebelumnya, ia suka membahas hal-hal seperti operasi dan sekarang tidak lagi, jadi sepertinya kami telah melakukan sesuatu yang positif.”
Sekarang, keluarga itu terlibat dalam perseteruan hukum dengan distrik sekolah di kota Fountain, mengenai apakah Coy, 6, dapat menggunakan toilet anak perempuan, atau seperti yang disarankan pihak sekolah, toilet guru atau toilet di unit kesehatan sekolah. Orangtuanya mengatakan jika ia menggunakan selain toilet perempuan, hal itu akan memberikan stigma untuknya dan menjadikannya korban kekerasan (bullying).
Pasangan Mathis telah mengadukan Sekolah Dasar Eagleside pada Kantor Hak-Hak Sipil Colorado untuk dugaan pelanggaran undang-undang anti-diskriminasi.
“Saat Coy tumbuh dan alat kelaminnya berkembang sesuai tubuhnya, beberapa orangtua dan siswa akan merasa tidak nyaman jika ia terus menggunakan kamar mandi untuk anak perempuan,” ujar pihak sekolah dalam pernyataan tertulis.
Distrik sekolah di banyak negara bagian, termasuk Colorado, telah memberlakukan kebijakan yang mengizinkan siswa transgender menggunakan kamar mandi sesuai dengan gender yang mereka identifikasi. Enambelas negara bagian, termasuk Colorado, memiliki undang-undang anti-diskrimnasi yang memasukkan perlindungan bagi orang transgender.
Konflik hukum seperti yang dialami pasangan Mathis adalah kasus langka, ujar Michael Silverman dari Dana Bantuan Hukum dan Edukasi Transgender yang berbasis di New York, yang mewakili pasangan Mathis.
Para psikolog tidak tahu apa yang menyebabkan kondisi tersebut, namun gangguan tersebut dimasukkan ke dalam manual diagnosa Asosiasi Psikiater Amerika (APA) pada 1980, sekitar 30 tahun sejak konsep psikologis dari gender mulai dikembangkan.
Tidak ada konsensus mengenai bagaimana perawatan untuk kondisi tersebut dalam usia Coy karena kurangnya data mengenai gangguan tersebut dalam anak-anak praremaja. Riset menunjukkan bahwa banyak anak-anak berangsur-angsur menjadi “nyaman dengan gender saat mereka dilahirkan,” tulis APA dalam laporannya pada 2011. Namun tujuan dari perawatan apa pun seharusnya untuk membantu sang anak menyesuaikan diri dengan realitas, tambah APA.
Coy merupakan bagian dari bayi kembar tiga. Sejak balita, ia lebih senang pakaian dan mainan perempuan, dan menolak keluar rumah memakai baju anak laki-laki. Kathryn dan Jeremy, yang merupakan mantan marinir, membawanya ke psikolog yang mendiagnosanya dengan gangguan tersebut.
Saat menyadari bahwa keinginan Coy untuk memakai baju perempuan, yang membuatnya diolok-olok teman sebaya, bukan merupakan sebuah fase, pasangan Mathis mengizinkannya memakai rok dan mengidentifikasi diri sebagai anak perempuan. Coy tidak lagi murung dan ketinggalan dalam pelajaran.
Sejak ada persoalan dengan penggunaan kamar mandi di sekolah, Coy bersekolah di rumah. Keluarga tersebut berharap ia dapat kembali ke sekolah dan diizinkan memakai kamar mandi perempuan, karena penggunaannya pun secara privat, dan Coy tidak lagi mendapat stigma.
“Kamar mandi dokter hanya untuk siswa yang sakit dan saya tidak sakit,” ujar Coy, yang memakai stoking putih, rok merah dan baju hangat di ruang tengah rumah keluarganya. (AP/P. SOLOMON BANDA)
Kemudian Coy mengatakan ia hanya ingin memakai baju anak perempuan. Di sekolah, ia kesal karena gurunya bersikeras menyuruhnya berbaris dengan anak laki-laki. Coy lalu mengalami depresi dan akhirnya meminta orangtuanya untuk membawanya ke dokter untuk “diperbaiki.”
Pasangan Mathis diberitahu dokter bahwa Coy mengalami gangguan identitas gender – sebuah kondisi dimana seseorang mengidentifikasi diri mereka sebagai lawan jenis. Mereka kemudian memutuskan membantu Coy hidup sebagai perempuan, dan hal itu telah membuatnya lebih baik.
“Kita bisa saja memaksanya menjadi seseorang yang bukan dirinya, namun hal itu akan merusaknya secara emosi dan merusak hubungan kami dengannya,” ujar Kathryn Mathis.
“Sebelumnya, ia suka membahas hal-hal seperti operasi dan sekarang tidak lagi, jadi sepertinya kami telah melakukan sesuatu yang positif.”
Sekarang, keluarga itu terlibat dalam perseteruan hukum dengan distrik sekolah di kota Fountain, mengenai apakah Coy, 6, dapat menggunakan toilet anak perempuan, atau seperti yang disarankan pihak sekolah, toilet guru atau toilet di unit kesehatan sekolah. Orangtuanya mengatakan jika ia menggunakan selain toilet perempuan, hal itu akan memberikan stigma untuknya dan menjadikannya korban kekerasan (bullying).
Pasangan Mathis telah mengadukan Sekolah Dasar Eagleside pada Kantor Hak-Hak Sipil Colorado untuk dugaan pelanggaran undang-undang anti-diskriminasi.
“Saat Coy tumbuh dan alat kelaminnya berkembang sesuai tubuhnya, beberapa orangtua dan siswa akan merasa tidak nyaman jika ia terus menggunakan kamar mandi untuk anak perempuan,” ujar pihak sekolah dalam pernyataan tertulis.
Distrik sekolah di banyak negara bagian, termasuk Colorado, telah memberlakukan kebijakan yang mengizinkan siswa transgender menggunakan kamar mandi sesuai dengan gender yang mereka identifikasi. Enambelas negara bagian, termasuk Colorado, memiliki undang-undang anti-diskrimnasi yang memasukkan perlindungan bagi orang transgender.
Konflik hukum seperti yang dialami pasangan Mathis adalah kasus langka, ujar Michael Silverman dari Dana Bantuan Hukum dan Edukasi Transgender yang berbasis di New York, yang mewakili pasangan Mathis.
Para psikolog tidak tahu apa yang menyebabkan kondisi tersebut, namun gangguan tersebut dimasukkan ke dalam manual diagnosa Asosiasi Psikiater Amerika (APA) pada 1980, sekitar 30 tahun sejak konsep psikologis dari gender mulai dikembangkan.
Tidak ada konsensus mengenai bagaimana perawatan untuk kondisi tersebut dalam usia Coy karena kurangnya data mengenai gangguan tersebut dalam anak-anak praremaja. Riset menunjukkan bahwa banyak anak-anak berangsur-angsur menjadi “nyaman dengan gender saat mereka dilahirkan,” tulis APA dalam laporannya pada 2011. Namun tujuan dari perawatan apa pun seharusnya untuk membantu sang anak menyesuaikan diri dengan realitas, tambah APA.
Coy merupakan bagian dari bayi kembar tiga. Sejak balita, ia lebih senang pakaian dan mainan perempuan, dan menolak keluar rumah memakai baju anak laki-laki. Kathryn dan Jeremy, yang merupakan mantan marinir, membawanya ke psikolog yang mendiagnosanya dengan gangguan tersebut.
Saat menyadari bahwa keinginan Coy untuk memakai baju perempuan, yang membuatnya diolok-olok teman sebaya, bukan merupakan sebuah fase, pasangan Mathis mengizinkannya memakai rok dan mengidentifikasi diri sebagai anak perempuan. Coy tidak lagi murung dan ketinggalan dalam pelajaran.
Sejak ada persoalan dengan penggunaan kamar mandi di sekolah, Coy bersekolah di rumah. Keluarga tersebut berharap ia dapat kembali ke sekolah dan diizinkan memakai kamar mandi perempuan, karena penggunaannya pun secara privat, dan Coy tidak lagi mendapat stigma.
“Kamar mandi dokter hanya untuk siswa yang sakit dan saya tidak sakit,” ujar Coy, yang memakai stoking putih, rok merah dan baju hangat di ruang tengah rumah keluarganya. (AP/P. SOLOMON BANDA)