Sejak pandemi, terjadi perubahan nyata dalam preferensi perjalanan liburan. Liburan bergaya serba cepat dan checklist, yang terinspirasi oleh judul-judul seperti "10 Tempat yang Wajib Dikunjungi Sebelum Meninggal" kini menjadi kurang diminati. Sebaliknya, konsep “perjalanan lambat” sebuah gaya perjalanan yang menekankan interaksi yang lebih dalam dan bermakna dengan budaya lokal, ketimbang pengalaman dangkal (superficial), semakin digandrungi.
Pada tahun 2024, konsep perjalanan lambat, yang juga dikenal sebagai wisata pelan-pelan (slow tourism) tidak hanya diterima secara luas, tetapi juga sangat dihargai, mengingat kontribusinya yang besar pada lingkungan.
“Waktu seolah berhenti, tidak melakukan apapun terasa menyenangkan,” kata Eko Binarso, pendiri Tanakita, sewaktu menceritakan reaksi sejumlah tamunya saat berada di bumi perkemahan yang dibangun bersama sejumlah rekannya.
Tanakita adalah penyedia jasa wisata alam yang menawarkan bumi perkemahan seluas 3,5 hektare di sebuah kawasan yang bersisian langsung dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yang membentang di tiga kabupaten -- Cianjur, Sukabumi dan Bogor – di Jawa Barat. Lokasi tepat bumi perkemahan itu adalah di Sukabumi.
Didirikan sejak 2005, bumi perkemahan Tanakita menjadi sangat populer dalam beberapa tahun terakhir, dan Eko mengaitkan lonjakan minat pengunjung ini dengan perubahan preferensi perjalanan liburan. Banyak orang, katanya, kini lebih menyukai wisata pelan-pelan karena mereka makin sadar lingkungan.
Wisata yang satu ini bukanlah tentang melakukan lebih sedikit kegiatan; melainkan mengenai interaksi yang lebih bermakna dengan budaya lokal di sebuah destinasi, meluangkan lebih banyak waktu untuk mengapresiasi lingkungan sekitar, dan, sebisa mungkin, berkontribusi positif pada lingkungan. Singkat kata, wisata ini menekankan kualitas daripada kuantitas atau kecepatan.
Di bumi perkemahan Tanakita, tamu didorong tidak hanya untuk berelaksasi di alam terbuka, bersosialisasi dengan masyarakat setempat dengan berkunjung ke desa-desa sekitar serta belanja buah dan sayuran segar langsung dari petani, tapi juga mempelajari lingkungan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.
Eo mengatakan, di bumi perkemahannya, para pemandunya, “Mengenalkan mereka (para tamu, red) pada ekosistem hutan, melihat kunang-kunang, dan menikmati bintang-bintang. Dan karena bersisian dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, mereka bisa mengenal apa yang disebut tropical rain forest (hutan hujan tropis, red).”
Demi menjaga lingkungan dan kenyamanan tamu, Bumi Perkemahan Tanakita membatasi jumlah tamunya, meski permintaan terkadang melonjak. “Dalam luasan 3,5 hektare, kami hanya menerima 150 orang pada saat yang sama.”
Untuk bisa menginap di tenda-tenda lengkap yang sudah disediakan di sana, seseorang dikenai biaya Rp550 ribu per malam, belum termasuk pajak. Dengan biaya sebesar itu peserta bisa mendapat tiga kali makan besar (pagi, siang dan malam), serta dua kali makan ringan (snack).
Ary S. Suhandi, pengamat pariwisata dan direktur Indonesian Ecotourism Network (Indecon), mengatakan kebangkitan wisata pelan-pelan terkait erat dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan.
Kini, katanya, semakin banyak orang yang sadar bahwa wisata cepat-cepat (fast tourism), yang biasanya melibatkan banyak destinasi pada satu periode waktu, berkontribusi besar pada meningkatnya emisi karbon. Contoh sederhananya, jenis wisata ini umumnya menggunakan penerbangan, dan pesawat terbang memiliki jejak karbon yang besar karena emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya.
“Pariwisata berkontribusi besar pada emisi karbon. Secara global, pariwisata menyumbang sembilan persen emisi karbon dunia. Itu angka yang tidak kecil, sehingga sektor ini harus lebih giat lagi mengurangi jejak karbon dari setiap traveler,” jelasnya.
Secara sederhana, pria yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua Asian Ecotourism Network, menjelaskan, wisata pelan-pelan umumnya terkonsentrasi pada satu destinasi. Pelakunya mencapai daerah tujuan umumnya dengan moda transportasi darat, tinggal lebih lama dan lebih sedikit bepergian. Setelah tiba di tempat tujuan, ia lebih memilih jenis transportasi lokal, meluangkan waktu untuk menjelajahi sejarah dan budaya lokal, dan ikut mendukung keberlanjutan lingkungan. Walhasil, wisata yang satu ini jejak karbonnya lebih sedikit ketimbang wisata cepat-cepat.
Ary mengatakan, wisata pelan-pelan ini banyak digembar-gemborkan generasi Z, mereka yang terlahir dalam rentang tahun 1997 hingga tahun 2012.
“Selain enjoying alam, mereka mengapresiasi alam dan sebisa mungkin ikut berkontribusi positif pada alam,” sebutnya. [ab/uh]
Forum