Pemilu 2019 akan istimewa karena pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilangsungkan secara bersamaan. Meskipun pesta demokrasi itu baru digelar sekitar 1,5 tahun lagi, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) telah mengadakan survei nasional mengenai beragam kemungkinan dalam hajatan nasional itu.
SMRC melakukan jajak pendapat atas 1.200 responden pada 7-13 Desember 2017, dengan metode wawancara tatap muka. Namun dari jumlah responden itu hanya 1.059 yang bisa diwawancarai. Responden mewakili semua segmen: penduduk desa dan kota, semua agama, lelaki dan perempuan, serta seluruh etnis, dengan tingkat kepercayan 95 persen.
Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan mengatakan jajak pendapat terbaru SMRC ini menunjukkan 38,9 persen responden secara spontan menyatakan akan memilih Presiden Joko "Jokowi" Widodo kalau pemilihan dilangsungkan ketika wawancara dilakukan.
“Di Desember 2017, kami menanyakan top of mind tentang siapa yang akan dipilih sebagai presiden kalau pemilu presiden sekarang, 38,9 persen Pak Jokowi. Ini persis sama yang kami temukan September. Pak Prabowo menurun sedikit, dilanjutkan oleh SBY, Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan,” kata Djayadi dalam jumpa pers di kantor SMRC, Selasa (2/1).
Djayadi menambahkan 21 persen responden akan mencoblos Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), bila pemilihan umum dilaksanakan saat mereka diwawancarai. Disusul Partai Golongan Karya dengan 9 persen suara, Partai Gerakan Indonesia Raya (6,8 persen), Partai Demokrat (5,4 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (4,0 persen), Partai Keadilan Sejahtera (2,7 persen).
Hasil survei SMRC itu memperlihatkan pemilih yang masih belum bisa menentukan pilihan (swing voters) atau yang pilihannya berbeda dari pemilu yang satu ke pemilu lain mencapai sekitar 38,4 persen. Jumlah swing voters yang cukup signifikan ini dinilai bisa mempengaruhi perolehan suara partai dalam pemilihan umum 2019.
Djayadi menambahkan dibanding pemilu 2014, swing voters paling banyak ada di Partai Demokrat (51 persen), disusul oleh Partai Amanat Nasional (50 persen), Partai Persatuan Pembangunan (47 persen), Partai Gerakan Indonesia Raya (45 persen), Partai Golongan Karya (38 persen), Partai Nasional Demokrat (33 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (30 persen), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (23 persen), Partai Keadilan Sejahtera (20 persen).
Dia mengatakan angka swing voters yang mencapai 38,4 persen itu membuka kemungkinan adanya partai yang tidak lolos lagi ke Senayan, dan sebaliknya ada partai yang bisa menambah suaranya dalam pemilu 2019. Data ini juga menunjukkan pemilih Indonesia adalah pemilih terbuka yang bisa dibujuk oleh partai politik mana saja.
“Di Indonesia, kita menemukan identifikasi partai itu lemah, rendah sekali, termasuk yang terendah di dunia. Kedekatan dengan partai di Indonesia itu ada di angka 11,7 persen pada Desember 2017. Dengan kata lain, hanya 11,7 persen pemilih Indonesia merasa punya ikatan psikologis dengan partai tertentu dan cenderung memilih partai itu kapanpun,” ujar Djayadi.
Menanggapi hasil survei SMRC, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya, Ferry Juliantono, mengatakan pemilihan gubernur Jakarta telah membuka politik identitas di Indonesia. Menurut dia, level pemilih di Indonesia saat ini bukan lagi mencoblos demi uang, tapi pemilih memiliki nilai-nilai etika.
Namun Ferry mempertanyakan hasil survei SMRC tersebut yang masih menempatkan elektabilitas Partai Gerakan Indonesia Raya yang lebih rendah dibanding partai lain. Padahal, jumlah kader partai tersangkut perkara hukum lebih sedikit dibanding partai-partai lain.
“Harusnya secara alamiah dianggap oleh masyarakat relatif lebih bersih dibanding yang lain. Harusnya cerminan ini memberi pengaruh terhadap naik atau turunnya Partai gerindra. Saya lihat di sini Partai Gerindra diposisikan malah lebih rendah dibandingkan dengan partai yang sedang didera kasus hukum,” kata Ferry.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Maruarar Sirait, mengatakan gembira melihat hasil survei SMRC tersebut karena partainya terus menunjukkan kecenderungan positif dalam beberapa survei sepanjang 2017.
“Jadi itu yang memang kita jaga. Jangan pas disurvei trennya naik, pas pemilu trennya turun. Soal bagaimana menjaga tren itu harus tepat karena tentu jauh lebih berarti angka ini pada saat pemilu,” ujar Maruarar.
Hasil menarik lainnya dari survei SMRC adalah sebagian besar responden setuju kalau Jokowi dan Prabowo Subianto dipasangkan sebagai calon presiden dan wakil presiden. Bahkan kecenderungannya terus meningkat.
Ketika survei dilakukan pada Mei 2017, 48,1 persen mendukung pasangan Jokowi-Prabowo. Angkanya naik menjadi 59,1 persen di survei September 2017. Kemudian melonjak lagi menjadi 66,9 persen berdasarkan hasil survei pada Desember 2017.