Somalia, Kongo, Afghanistan, dan Suriah menempati urutan teratas zona konflik paling berbahaya bagi anak-anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Senin (21/6), mengatakan terhitung hampir 60 persen dari semua pelanggaran yang masuk dalam daftar hitam tahunan negara-negara di mana anak-anak menderita pelanggaran berat.
"Anak-anak tidak dapat dijadikan prioritas terakhir dalam agenda internasional atau kelompok individu yang paling tidak dilindungi di planet ini," Virginia Gamba, perwakilan khusus PBB untuk anak-anak dalam konflik bersenjata, kepada wartawan dalam peluncuran laporan itu, Senin (21/6).
Gamba menyampaikan pelanggaran paling luas pada 2020 mencakup perekrutan dan penggunaan anak-anak oleh pasukan keamanan dan kelompok bersenjata termasuk pembunuhan dan tindakan yang melukai anak-anak.
"Kami sangat khawatir dengan meningkatnya penculikan anak-anak sebesar 90 persen dibanding tahun-tahun sebelumnya, termasuk peningkatan pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Itu tercatat mengalami peningkatan 70 persen dibanding tahun-tahun sebelumnya," tambahnya.
Laporan itu menyebutkan lebih dari 3.200 anak dipastikan telah diculik selama konflik berlangsung pada 2020, dan sedikitnya 1.268 telah menjadi korban kekerasan seksual.
Dari sejumlah pelanggaran terburuk, Gamba mengungkapkan Somalia mengalami "pelanggaran terbanyak sejauh ini," terutama yang dilakukan oleh kelompok teroris al-Shabab. Di Afghanistan, ia menjelaskan Taliban bertanggung jawab atas dua pertiga pelanggaran, termasuk pemerintah dan sisanya adalah milisi yang pro-pemerintah.
Myanmar juga menempati peringkat tinggi dalam daftar pelanggaran berat, termasuk jumlah tertinggi anak-anak yang direkrut dan dimanfaatkan, sementara Yaman mencapai angka tertinggi untuk anak-anak yang terbunuh atau menderita cacat.
Serangan terhadap sejumlah sekolah dan rumah sakit tetap tinggi tahun lalu mencapai angka 856, sebagian besar di Afghanistan, Kongo, Suriah dan Burkina Faso. [mg/lt]