Siswa sekolah termasuk kelompok yang paling dirugikan oleh pandemi COVID-19. Pilihan sekolah tatap muka ataupun secara daring sama-sama memunculkan risiko.
“Risikonya akan jauh lebih rendah kalau anak-anak itu berinteraksi dengan teman-temannya dalam komunitas,” jelas Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia.
Indonesia, kata Imam, memiliki potensi yang luar biasa untuk guru informal. Sekolah komunitas melibatkan apa yang disebut Imam champion pendidik, yaitu orang-orang dari komunitas, termasuk orang tua atau aktivis tingkat lokal.
“Tidak mesti yang namanya mengajari anak SD-SMP, harus guru SD-SMP. Bisa saja pemuda, dosen yang ada dalam komunitas itu, dilibatkan sehingga terjadilah movement, penyelamatan di tingkat komunitas,” kata Imam Prasodjo.
Bila itu terjadi, kata Imam, pendidikan berbasis komunitas akan bangkit. Bisa jadi ini adalah solusi.
“Seandainya tidak ada COVID sekalipun, ini adalah satu bentuk pendidikan yang partisipatif dan keluar dari jebakan-jebakan sekolah formal yang selama ini banyak dikritik,” lanjutnya.
Siti Kusujiarti, sosiolog dari Warren-Wilson College di North Carolina, mengungkapkan selama pandemi ia melihat banyak bermunculan apa yang disebut sebagai mutual aid organization (organisasi bantuan timbal balik). Organisasi-organisasi ini, yang jumlahnya mencapai ribuan, ingin memberi solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat melalui gerakan-gerakan sosial lokal.
“Salah satu hal yang sangat penting adalah penguatan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Jadi, ini bukan saja di Indonesia akan tetapi juga di Amerika dan juga di dunia. Solidaritas global ini juga perlu dikembangkan,” kata Siti Kusujiarti.
Siti menambahkan, pandemi tidak bisa dipecahkan hanya dengan memecahkan masalah yang ada di satu negara, melainkan perlu solidaritas global. “Masalah pandemi tidak akan selesai kalau tidak ada solidaritas global,” cetusnya.
Senada dengan itu, sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet melihat pandemi memunculkan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kosmopolitanisme, yang memandang manusia dari berbagai bangsa dan etnis suku sebagai satu kesatuan. “Jadi ada pandangan kemanusiaan universal yang menebal oleh karena pandemi,” kata Robertus Robet.
Robet mengatakan ada lima aspek yang bisa diambil sebagai pelajaran berharga dari pandemi. Yang paling penting, “Pandemi menyadarkan kita bahwa kesehatan satu pihak tidak akan cukup apabila tidak didukung oleh kesehatan dari yang lain. Sisi positif lainnya adalah menguatnya solidaritas,” tegasnya.
Aspek lain, kata Robet, kita diminta untuk semakin menghargai dan belajar dari alam. Selain itu, pandemi membuat kita semakin mengandalkan sains yang berkolaborasi atau dituntun oleh etika kemanusiaan. Keberadaan vaksin, menurut Robet, adalah langkah baru bagi keselamatan orang banyak.
Pandemi yang berkepanjangan, kata Siti, mendorong munculnya perubahan sosial, menarik orang keluar dari kebiasaan sebelum pandemi. Robet menunjuk banyak pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa perlu ke luar rumah, sebagai contoh. Tetapi Siti juga mencatat peran perempuan.
“Perempuan itu banyak sekali andilnya dalam mengembangkan ketahanan komunitas,” jelas Siti Kusujiarti.
Juga dalam enterpreneurship, kata Siti, mengingat perempuan sangat aktif dalam berbagai usaha kecil. Dalam penelitiannya, Siti menyimpulkan bahwa disaster enterpreneurship (wirausaha yang berkembang setelah terjadi bencana) adalah faktor penting dalam pemulihan dari bencana atau dalam menghadapi bencana. [ka/ab]