Pasien-pasien penyakit jantung memiliki harapan hidup jangka panjang lebih baik, jika mereka menikah, menurut sebuah studi terbaru Amerika.
Kelompok pasien penyakit jantung yang cerai, menjanda atau menduda, dan tidak menikah, memiliki risiko meninggal dalam masa perawatan beberapa tahun berikutnya, hingga 70 persen.
“Kami mengukur penanda biologis (biomarker), termasuk kolesterol, tekanan darah tinggi dan diabetes. Memang benar, pasien-pasien lajang kondisinya lebih parah karena mereka punya kondisi-kondisi ini. Namun dari status perkawinan itu sendiri adalah faktor risiko tersendiri,” penulis senior studi, Dr. Arshed Quyyumi dari Emory University School of Medicine di Atlanta mengatakan kepada Reuters melalui wawancara telepon.
Quyyumi dan timnya meneliti hubungan antara status pernikahan dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler, serangan jantung dan kematian akibat sebab lain di antara 6.051 laki-laki dan perempuan, yang menjalani perawatan akibat penyumbatan arteri jantung di rumah sakit-rumah sakit Emory Healthcare antara 2003 dan 2015. Masa perawatan lanjutan bervariasi dari 1,7 hingga 6,7 tahun, dengan rata-rata 3.5 tahun.
Secara keseluruhan, pasien-pasien lajang 1,45 kali lebih berisiko mengalami serangan kardiovaskuler yang berujung kematian dibanding pasien yang menikah, 1,52 kali berisiko mengalami serangan jantung dan 1,24 kali kemungkinan meninggal karena sebab lain dalam masa perawatan lanjutan, para peneliti melaporkan dalam jurnal American Heart Association.
Para janda atau duda memiliki risiko lebih tinggi, dengan kemungkinan terkena serangan jantung atau kematian akibat penyakit kardiovaskuler hingga 70 persen. Sedangkan pasien yang bercerai, berpisan dan lajang memiliki kemungkinan 40 persen lebih tinggi untuk mengalami hal seperti itu.
Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa menikah berhubungan dengan kesehatan lebih baik dan kesempatan hidup yang lebih baik secara keseluruhan, menurut catatan tim penelitian. Meski demikian, mekanisme yang terlibat masih perlu studi lanjutan.
“Ini adalah titik kulminasi seluruh faktor,” kata Dr. Rahul Potluri dari Aston Medical School di Birmingham, Inggris yang tidak terlibat dalam penelitian. “Manfaat-manfaat dari pernikahan termasuk dorongan untuk menjaga kesehatan masing-masing. Ada peningkatan upaya untuk mencari dan memperoleh perawatan kesehatan untuk mendeteksi kondisi-kondisi kronis seperti diabetes dan hipertensi. Menghentikan kebiasaan merokok karena “omelan pasangan” juga bisa membantu,” kata dia.
Orang-orang yang memiliki pasangan cenderung memiliki tujuan hidup yang lebih besar dan lebih mungkin bertanggung jawab atas kesehatan mereka, dengan melakukan diet, berolah raga dan menuruti perawatan, kata Quyyumi. Namun ketika pasangan sudah tidak lagi ada, ketaatan mengikuti aturan kesehatan mulai luruh.
Penjelasan lainnya mengenai dampak pernikahan pada perlindungan kesehatan adalah kurangnya dukungan sosial ditambah denga stres akut yang biasanya mengikuti perceraian, masa berkabung panjang setelah kehilangan orang terkasih dan interaksi yang berkurang karena tinggal sendiri, kata dia.
Kurangnya dukungan sosial telah dianggap memperburuk hasil pasien-pasien penyakit jantung setelah perceraian, kata Quyyumi. Hal ini menunjukkan stres secara emosional dan finansial akibat perceraian mungkin berpengaruh pada hasil-hasil yang buruk.
“Kami tentu saja tidak bisa meresepkan pernikahan kepada pasien,” kata Potluri. “Namun kami menekankan peran dari hubungan dan persahabatan untuk mengontrol penyakit arteri koroner.”
“Cobalah untuk mencapai kembali tujuan hidup,” kata Quyyumi. “Apakah itu menemukan pasangan lain untuk menggantikan dukungan sosial yang hilang, lebih terlibat dengan kegiatan keluarga anak anda atau bergabung dengan kelompok gereja. Hal-hal seperti ini membantu pasien kembali tertaruk untuk menyelamatkan hidup mereka.” [fw/au]