Menaikkan pajak tembakau tiga kali lipat dapat menyelamatkan sampai 200 juta nyawa, menurut hasil sebuah penelitian baru yang diterbitkan pada 1 Januari di New England Journal of Medicine.
"Industri tembakau internasional meraup laba US$50 miliar setiap tahun -- itu keuntungan sebesar $10.000 per kematian karena merokok," ujar Richard Peto, seorang ahli epidemiologi di lembaga Cancer Research UK dan salah seorang peneliti studi tersebut.
Menaikkan pajak, menurut riset tersebut, akan menurunkan kesenjangan harga antara merek-merek termahal dan termurah, yang akan mengarah pada lebih banyak orang yang berhenti merokok bukannya hanya beralih ke merek yang lebih murah. Harga-harga yang lebih tinggi juga akan mengurangi semangat anak-anak muda untuk merokok.
Dampak-dampak dari pajak yang lebih tinggi akan terasa terutama di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, tempat rokok termurah relatif lebih terjangkau. Hal ini juga akan efektif di negara-negara kaya. Sebagai contoh, Perancis memotong konsumsi rokok sampai setengahnya dari 1990 sampai 2005 dengan menaikkan pajak jauh di atas inflasi, menurut studi tersebut.
Riset tersebut mengacu pada sejumlah studi yang menemukan bahwa harga rokok yang 50 persen lebih tinggi daripada penyesuaian dengan inflasi mengurangi konsumsi sekitar 20 persen, dengan penurunan tajam di antara anak muda dan orang miskin.
"Secara global, sekitar setengah dari semua pemuda dan satu dari 10 perempuan muda menjadi perokok, dan, terutama di negara-negara berkembang, relatif sedikit yang berhenti merokok," ujar Peto. "Jika mereka tetap merokok, sekitar setengahnya akan mati karenanya. Namun jika mereka berhenti sebelum usia 40 tahun, risiko kematian karena tembakau berkurang 90 persen."
Merokok adalah sebab utama kematian dini karena penyakit kronis, menurut studi tersebut, dan pada 2013, Badan Kesehatan Dunia mendesak pemerintah-pemerintah dunia untuk mengurangi jumlah perokok menjadi sepertiganya pada 2025.
Studi tersebut mengatakan bahwa menaikkan pajak tembakau tiga kali lipat akan mengurangi konsumsi dunia sepertiganya, seraya menaikkan pendapatan pemerintah dari tembakau sepertiga, dari $300 miliar per tahun saat ini menjadi $400 miliar per tahun. Penghasilan ini dapat digunakan untuk memberikan perawatan kesehatan yang lebih baik.
Sekitar 1,3 miliar orang di dunia merokok, sebagian besar di negara-negara berpendapatan menengah dan bawah, menurut studi tersebut.
Lebih jauh lagi, studi tersebut mengatakan duapertiga perokok (berdasarkan urutan besar ke kecil), ada di China, India, Uni Eropa, Indonesia, Amerika Serikat, Rusia, Jepang, Brazil, Bangladesh dan Pakistan. China mengkonsumsi lebih dari dua triliun rokok per tahun, dari jumlah total enam triliun di seluruh dunia.
"Industri tembakau internasional meraup laba US$50 miliar setiap tahun -- itu keuntungan sebesar $10.000 per kematian karena merokok," ujar Richard Peto, seorang ahli epidemiologi di lembaga Cancer Research UK dan salah seorang peneliti studi tersebut.
Menaikkan pajak, menurut riset tersebut, akan menurunkan kesenjangan harga antara merek-merek termahal dan termurah, yang akan mengarah pada lebih banyak orang yang berhenti merokok bukannya hanya beralih ke merek yang lebih murah. Harga-harga yang lebih tinggi juga akan mengurangi semangat anak-anak muda untuk merokok.
Dampak-dampak dari pajak yang lebih tinggi akan terasa terutama di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, tempat rokok termurah relatif lebih terjangkau. Hal ini juga akan efektif di negara-negara kaya. Sebagai contoh, Perancis memotong konsumsi rokok sampai setengahnya dari 1990 sampai 2005 dengan menaikkan pajak jauh di atas inflasi, menurut studi tersebut.
Riset tersebut mengacu pada sejumlah studi yang menemukan bahwa harga rokok yang 50 persen lebih tinggi daripada penyesuaian dengan inflasi mengurangi konsumsi sekitar 20 persen, dengan penurunan tajam di antara anak muda dan orang miskin.
"Secara global, sekitar setengah dari semua pemuda dan satu dari 10 perempuan muda menjadi perokok, dan, terutama di negara-negara berkembang, relatif sedikit yang berhenti merokok," ujar Peto. "Jika mereka tetap merokok, sekitar setengahnya akan mati karenanya. Namun jika mereka berhenti sebelum usia 40 tahun, risiko kematian karena tembakau berkurang 90 persen."
Merokok adalah sebab utama kematian dini karena penyakit kronis, menurut studi tersebut, dan pada 2013, Badan Kesehatan Dunia mendesak pemerintah-pemerintah dunia untuk mengurangi jumlah perokok menjadi sepertiganya pada 2025.
Studi tersebut mengatakan bahwa menaikkan pajak tembakau tiga kali lipat akan mengurangi konsumsi dunia sepertiganya, seraya menaikkan pendapatan pemerintah dari tembakau sepertiga, dari $300 miliar per tahun saat ini menjadi $400 miliar per tahun. Penghasilan ini dapat digunakan untuk memberikan perawatan kesehatan yang lebih baik.
Sekitar 1,3 miliar orang di dunia merokok, sebagian besar di negara-negara berpendapatan menengah dan bawah, menurut studi tersebut.
Lebih jauh lagi, studi tersebut mengatakan duapertiga perokok (berdasarkan urutan besar ke kecil), ada di China, India, Uni Eropa, Indonesia, Amerika Serikat, Rusia, Jepang, Brazil, Bangladesh dan Pakistan. China mengkonsumsi lebih dari dua triliun rokok per tahun, dari jumlah total enam triliun di seluruh dunia.