Sebuah studi menunjukkan bahwa tidak hanya manusia, primata yang lain seperti simpanse dan orangutan juga mengalami krisis separuh baya, ditandai dengan situasi emosi yang labil.
“Kami terkejut ketika data pada hewan-hewan tersebut menunjukkan kurva kebahagiaan yang berbentuk huruf U,” ujar ekonom Andrew Oswald dari Universitas Warwick di Inggris, yang juga salah satu penulis makalah ilmiah yang diterbitkan Senin (19/11) oleh Akademi Sains Nasional AS.
Kurva kebahagiaan berbentuk U dan aspek-aspek kesejahteraan lainnya terdokumentasikan secara lengkap dengan alasan-alasan yang dianggap kontroversial. Sejak 2002, penelitian-penelitian di sekitar 50 negara telah menemukan bahwa tingkat kebahagiaan tinggi pada masa muda, turun di periode paruh baya, dan naik kembali pada usia tua.
Euforia masa muda datang dari harapan-harapan tak terbatas dan kesehatan yang baik, sementara ketenangan dan kepasrahan orang tua mencerminkan “kebijaksanaan yang terakumulasi dan kesaksian terhadap kematian teman dan kerabat, yang membuat Anda lebih menghargai apa yang Anda miliki,” ujar Oswald.
Alasan-alasan turunnya kebahagiaan pada usia paruh baya, di mana tingkat bunuh diri dan penggunaan obat anti depresi memuncak, tidak begitu jelas. Pada tahun-tahun terakhir, para peneliti telah menekankan pada faktor-faktor sosiologi dan ekonomi, mulai dari kesadaran seorang akuntan bahwa mimpinya sebagai penyanyi Broadway tidak akan terwujud sampai ketakutan akan dipecat, belum lagi kegagalan perkawinan dan kesulitan keuangan.
Oswald, 58, menyebut periode itu “ledakan kemarahan.” Karena belum ada studi mengenai itu sebelumnya, ia dan para koleganya memutuskan untuk melihat apakah makhluk-makhluk yang tidak memiliki penyesalan dalam karir atau cicilan rumah bisa menderita krisis paruh baya.
Mereka pun meneliti kebahagiaan 155 simpanse di kebun binatang Jepang, 181 di AS dan Australia dan 172 orangutan di AS, Kanada, Australia dan Singapura. Hasilnya, ketiga kelompok primata ini mengalami ketidaknyamanan paruh baya: Kurva ketenangan U dengan titik nadir pada, masing-masing, usia 28, 27 dan 35, dibandingkan dengan manusia yang mengalaminya pada usia 45 sampai 50.
Mengapa hewan-hewan tersebut mengalami krisis paruh baya? Mungkin karena tatanan masyarakat mereka mirip dengan manusia, yang dipengaruhi faktor sosial, tak hanya biologi, ujar Oswald. Barangkali kera mengalami masalah eksistensial juga, saat mereka menyadari mereka tidak akan pernah menjadi pria atau perempuan alfa.
Ia menambahkan bahwa krisis paruh baya sepertinya diturunkan lewat evolusi, bukannya dampak kehidupan modern.
“Barangkali alam tidak ingin kita nyaman pada usia paruh baya, hanya duduk-duduk tenang di atas pohon,” ujar Oswald.
“Mungkin ketidaknyamanan membakar gairah di dalam diri, mendorong kita ingin membuat pencapaian lebih untuk diri kita atau keluarga.” (AP/Reuters)
“Kami terkejut ketika data pada hewan-hewan tersebut menunjukkan kurva kebahagiaan yang berbentuk huruf U,” ujar ekonom Andrew Oswald dari Universitas Warwick di Inggris, yang juga salah satu penulis makalah ilmiah yang diterbitkan Senin (19/11) oleh Akademi Sains Nasional AS.
Kurva kebahagiaan berbentuk U dan aspek-aspek kesejahteraan lainnya terdokumentasikan secara lengkap dengan alasan-alasan yang dianggap kontroversial. Sejak 2002, penelitian-penelitian di sekitar 50 negara telah menemukan bahwa tingkat kebahagiaan tinggi pada masa muda, turun di periode paruh baya, dan naik kembali pada usia tua.
Euforia masa muda datang dari harapan-harapan tak terbatas dan kesehatan yang baik, sementara ketenangan dan kepasrahan orang tua mencerminkan “kebijaksanaan yang terakumulasi dan kesaksian terhadap kematian teman dan kerabat, yang membuat Anda lebih menghargai apa yang Anda miliki,” ujar Oswald.
Alasan-alasan turunnya kebahagiaan pada usia paruh baya, di mana tingkat bunuh diri dan penggunaan obat anti depresi memuncak, tidak begitu jelas. Pada tahun-tahun terakhir, para peneliti telah menekankan pada faktor-faktor sosiologi dan ekonomi, mulai dari kesadaran seorang akuntan bahwa mimpinya sebagai penyanyi Broadway tidak akan terwujud sampai ketakutan akan dipecat, belum lagi kegagalan perkawinan dan kesulitan keuangan.
Oswald, 58, menyebut periode itu “ledakan kemarahan.” Karena belum ada studi mengenai itu sebelumnya, ia dan para koleganya memutuskan untuk melihat apakah makhluk-makhluk yang tidak memiliki penyesalan dalam karir atau cicilan rumah bisa menderita krisis paruh baya.
Mereka pun meneliti kebahagiaan 155 simpanse di kebun binatang Jepang, 181 di AS dan Australia dan 172 orangutan di AS, Kanada, Australia dan Singapura. Hasilnya, ketiga kelompok primata ini mengalami ketidaknyamanan paruh baya: Kurva ketenangan U dengan titik nadir pada, masing-masing, usia 28, 27 dan 35, dibandingkan dengan manusia yang mengalaminya pada usia 45 sampai 50.
Mengapa hewan-hewan tersebut mengalami krisis paruh baya? Mungkin karena tatanan masyarakat mereka mirip dengan manusia, yang dipengaruhi faktor sosial, tak hanya biologi, ujar Oswald. Barangkali kera mengalami masalah eksistensial juga, saat mereka menyadari mereka tidak akan pernah menjadi pria atau perempuan alfa.
Ia menambahkan bahwa krisis paruh baya sepertinya diturunkan lewat evolusi, bukannya dampak kehidupan modern.
“Barangkali alam tidak ingin kita nyaman pada usia paruh baya, hanya duduk-duduk tenang di atas pohon,” ujar Oswald.
“Mungkin ketidaknyamanan membakar gairah di dalam diri, mendorong kita ingin membuat pencapaian lebih untuk diri kita atau keluarga.” (AP/Reuters)