Satu tahun tambahan di sekolah bisa mengurangi risiko infeksi HIV hingga sepertiga, menurut sebuah penelitian.
Penelitian itu, menurut penulisnya, adalah bukti bahwa pendidikan merupakan cara pencegahan HIV yang hemat biaya, dan masih banyak keuntungan lainnya.
Walaupun upaya-upaya kesehatan terus dilakukan, HIV menulari lebih dari dua juta orang setiap tahun.
Botswana adalah salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat infeksi tertinggi. Hampir seperempat populasinya terinfeksi HIV.
Banyak ahli yang percaya bahwa orang yang berpendidikan cenderung tidak terjangkit virus tersebut, tapi selama ini sulit dibuktikan.
Perubahan kelas
Pada tahun 1996, Botswana melakukan sebuah perubahan sistem pendidikan yang menawarkan percobaan alami. Pemerintah memindahkan kelas 10 dari sekolah menengah atas menjadi sekolah menengah pertama, yang tadinya berakhir pada kelas 9.
Siswa harus lulus dari sekolah menengah pertama sebelum bisa masuk ke pelatihan kejuruan. Dan sekolah menengah pertama lebih banyak daripada sekolah menengah atas.
“Hal ini memungkinkan lebih banyak orang bisa mengikuti kelas 10 dan meningkatkan keuntungan bagi murid yang menyelesaikan satu kelas tambahan," kata salah satu penulis penelitian tersebut, Jacob Bor, seorang ahli ekonomi kesehatan di Boston University School of Public Health.
Para peneliti ingin melihat dampak apa yang ditimbulkan oleh satu tahun tambahan kelas selama beberapa tahun berikutnya, ketika para siswa sudah menjadi dewasa. Mereka membandingkan survei kesehatan nasional yang diambil pada tahun 2004 dan 2008.
“Dampaknya besar," kata Bor. “Kami terkejut melihat betapa besar dampaknya."
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Lancet Global Health tersebut menemukan bahwa risiko infeksi secara keseluruhan menurun lebih dari delapan persen poin, dari 25,5 persen menjadi 17,4 persen. Dampak ini lebih besar dirasakan pada perempuan: 11,6 persen poin. Berbagai tes statistik menunjukkan hasil yang sama," tambah Bor.
‘Slam dunk’
“Saya pikir penelitian ini memberikan bukti bahwa kita harus mempertimbangkan sekolah formal, khususnya sekolah menengah, sebagai cara untuk mencegah HIV," ujarnya.
Pendidikan juga menghemat biaya. Tiap infeksi HIV yang berhasil dihindari, biayanya lebih besar daripada biaya yang dibutuhkan untuk melakukan sunat terhadap anak laki-laki, tapi kurang lebih sama dengan biaya obat anti-HIV kepada orang-orang yang belum terinfeksi HIV tapi berisiko tinggi.
Bor menggarisbawahi bahwa para peneliti hanya memperhatikan biaya pencegahan infeksi HIV. "Kalau kita menyertakan semua keuntungan yang didapat dari bersekolah, maka efektivitas biayanya, saya pikir, akan lebih terasa, seperti slam dunk," tambahnya.
Dalam komentar yang menyertai penelitian tersebut, ahli ekonomi kesehatan dari New York University, Karen Grepin mengatakan penelitian tersebut menyediakan bukti yang kuat bahwa pendidikan bisa mengurangi risiko HIV. "Alasan utama (pendidikan) bukan untuk kesehatan," ujarnya, "tapi dampak kesehatannya juga luar biasa."
Bagaimana caranya?
Tidak jelas bagaimana pendidikan bisa mengurangi risiko HIV. Botswana tidak punya kurikulum pendidikan HIV pada tahun 1996.
“Saya pikir, itulah salah satu hal yang paling menarik tentang hasil penelitian ini," kata Bor. "Apa yang kita lihat bukan hasil dari pendidikan khusus HIV, tapi pendidikan dalam cakupan yang lebih luas. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apa yang didapat orang dari pendidikan?"
Pendidikan lebih tinggi meningkatkan prospek kerja, yang khususnya penting bagi perempuan. Di Afrika sub Sahara, Bor mengatakan, perempuan sering kali "berada dalam posisi yang bergantung secara ekonomi dengan pasangannya dalam hubungan seksual di mana mereka tidak punya kekuasaan cukup dalam hubungan tersebut untuk memaksa sang pria mengenakan kondom atau menghindari risiko dengan cara lain."
Selain itu, bersekolah lebih tinggi bisa jadi meningkatkan kemampuan kognitif yang membantu membuat keputusan lebih baik.
Tapi selain keahlian belajar, siswa pada usia tersebut "membentuk jati diri mereka dan bagaimana masa depan mereka," ujarnya, seperti, "apakah di masa depan mereka akan memiliki karir, atau apakah fokus masa depan mereka adalah mencari suami."
Saat ini mereka tidak punya jawabannya, tapi Bor mengatakan penelitian berikutnya akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut.