Tautan-tautan Akses

Sudah Layakkah Indonesia Dikatakan Sebagai Negara Maju?


Air mancur Bundaran HI dan Patung Selamat Datang di Jakarta. (Foto: Adisurahman/wikipedia)
Air mancur Bundaran HI dan Patung Selamat Datang di Jakarta. (Foto: Adisurahman/wikipedia)

Secara mengejutkan, Amerika Serikat mencabut label negara berkembang Indonesia. Namun sudah pantaskah Indonesia memperoleh predikat sebagai negara maju?

Amerika Serika (AS) melalui Office of the US Trade Representative (USTR) atau kantor perwakilan dagang (AS) di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Predikat negara maju pun kini disematkan kepada Indonesia.

Beberapa negara lain juga dicoret dari status negara berkembang oleh Amerika Serikat, termasuk Albania, Argentina, Brasil, China, India, Singapura, Thailand, Ukrania,dan Vietnam.

Menko Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan Pemerintah menghentikan produk Impor dari China, di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (4/2). (biro Setpres)
Menko Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan Pemerintah menghentikan produk Impor dari China, di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (4/2). (biro Setpres)

Lalu, apakah Indonesia sendiri memang sudah layak menyandang predikat tersebut? Pemerintah merespon hal ini dengan cukup santai. Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menyebut bahwa status negara maju merupakan sesuatu yang sangat bagus karena itu pengakuan dari negara adidaya, dalam hal ini AS.

“Loh Indonesia kan sudah G20 ko masih mau dianggap kurang berkembang? Jadi kita sudah negara maju karena berdasarkan purchasing power parity pun kita sudah nomor tujuh di dunia,” ujar Airlangga.

Hal senada, juga disampaikan oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Menurutnya, hal ini bukanlah sesuatu hal yang harus dikhawatirkan, karena AS pun melakukan hal serupa terhadap beberapa negara lainnya.

“Ya bagus-bagus saja, apa masalahnya? Ya kenapa rupanya? Memang ada masalah? Kan 26 negara lain juga bukan hanya kita saja, Gak juga, saya kira gak ada masalah, kan GSP nya kita dapat, kan bagus,” ungkap Luhut.

Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga kepada VOA juga mengatakan bahwa pengakuan sebagai negara maju oleh negara Paman Sam tersebut haruslah diapreasiasi.

“Saya pikir kita bersyukur ketika misalnya ada upgrade status dari negara berkembang menjadi negara maju, itu artinya kita dianggap maju, saya pikir itu sebuah pencapaian dan kita apresiasi itu, tapi kan itu sekali lagi tidak ada hubungan dengan fasilitas GSP kami terima. Jadi intinya, status kita upgraded, GSP kita tetap dapat,” kata Jerry.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja kepada VOA mengatakan bahwa pemerintah jangan terlena dengan predikat yang diberikan oleh AS tersebut.

Ia menjelaskan ada beberapa faktor yang menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa menyandang predikat tersebut. Pertama, kualitas pertumbuhan ekonomi nasional masih sangat fragile, sehingga bukan tidak mungkin, kalau sewaktu-waktu Indonesia bisa mengalami kemunduran ekonomi.

Kedua, standar internasional (World Bank) yang diterima untuk kriteria “developed country” adalah GNI per kapita-nya harus di atas 12.000 dolar AS, bukan berdasarkan besaran GDP karena yang diperhitungkan adalah daya beli masyarakatnya, bukan output ekonomi negaranya.

“GNI per kapita Indonesia bahkan belum tembus 4.000 dolar AS pada 2019. Jadi tentu saja kita masih jauh dan belum layak dianggap negara maju,” ujar Shinta.

Ketiga, kata Shinta dari segi kualitas kesejahteraan masyarakat Indonesia (dalam konteks kesehatan, pendapatan, human capital) umumnya masih di bawah rata-rata internasional (sib-standar).

Menteri Perdagangan Agus Supramanto dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga saat menghadiri Rapat dengan Komisi VI DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta. (Foto: VOA/Ghita)
Menteri Perdagangan Agus Supramanto dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga saat menghadiri Rapat dengan Komisi VI DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta. (Foto: VOA/Ghita)

Ditambahkannya, kualitas human capital Indonesia juga sangat rendah karena angkatan kerja didominasi oleh unskilled workers. Padahal karakter human capital negara maju didominasi oleh skilled atau highly-skilled workers.

Ia mengakui memang dari sisi kesejahteraan/daya beli, kelas menengah Indonesia bertumbuh semakin besar dan semakin mendominasi dibanding kelas pendapatan lain. Namun, yang berjumlah paling banyak adalah masih kelas pendapatan menengah-bawah (lower middle), bukan middle-middle atau higher-middle.

“Di negara maju justru kelas pendapatan yang mendominasi adalah middle-middle atau higher-middle sehingga daya beli masyarakatnya solid dan tidak fragile seperti Indonesia saat ini,” paparnya.

Ia pun berpesan kepada pemerintah, agar tidak terlalu percaya diri dengan predikat sebagai negara maju tersebut, karena pada kenyataannya, masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah, agar kelak Indonesia dapat benar-benar dikatakan sebagai negara maju.

“Indonesia still have a long way to go, a lot of things to do, a lot of milestones to pass sebelum layak disebut sebagai negara maju. Kita masih harus terus kerja keras dan kerja smart. Jangan cepat pede. Again: this redesignation as 'non-developed country' is NOT a compliment,” tegas Shinta.

April, Indonesia Akan Finalisasi Fasilitas GSP dari Amerika Serikat

Meski sudah menjadi negara maju, pemerintah pun meyakinkan bahwa Indonesia akan tetap memperoleh fasilitas Generalized System of Preferences atau GSP dari AS. Fasilitas GSP adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak dari AS untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.

Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menjelaskan bahwa usai pertemuannya dengan USTR di Washington DC beberapa waktu lalu, negosiasi mengenai hal ini berjalan dengan baik sehingga ia yakin bahwa Indonesia akan tetap mendapatkan fasilitas GSP walaupun AS sudah mengubah status Indonesia menjadi negara maju.

April nanti, kata Jerry pihak USTR akan datang ke Jakarta untuk memfinalisasi poin-poin kesepakatan yang sudah dinegosiasikan sebelumnya.

“April, kita memfinalisasi GSP, kan selama ini GSP fasilitas yang diberikan oleh AS kepada kita dan itu selama ini bagus-bagus aja, positif, dan kan namanya juga pembahasan pasti nanti ada poin-poin yang mungkin intensif dibicarakan nah ini yang selama ini kita itu sedang rundingkan, tapi positif, intinya GSP tetap lanjut tidak berhubungan dengan (label negara maju),” ujarnya.

Lalu apa keuntungan Indonesia mendapatkan fasilitas GSP dari AS tersebut? Jerry menjelaskan bahwa dengan adanya keringanan potongan bea masuk terhadap ratusan produk Indonesia yang diekspor ke AS, pemerintah bisa menghemat biaya. Jerry juga mengatakan pihaknya sedang mengusahakan peningkatan fasilitas GSP.

“Kita bisa menghemat sekitar USD1,8 miliar atau setara dengan Rp25,8 triliun. Itu yang menjadi titik fokus dan sentral yang memang selama ini kami perjuangkan dalam rangka meningkatkan ekspor kita, dan memang ada pembahasan lebih lanjut lagi dalam perundingan nanti yang akan kami bahas, bersama dengan USTR langsung terkait dengan teknis-teknis yang tadi disebut penaikkan level atau penaikan fasilitas,” papar Jerry. [gi/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG