Ketika orang Amerika pergi ke tempat-tempat pemungutan suara (TPS) November ini untuk memilih presiden baru, kelompok suku asli atau Indian khawatir banyak anggota mereka tidak akan diperbolehkan memberikan suara.
Suku Indian mendapat kewarganegaraan Amerika lebih dari 90 tahun lalu. Meski demikian, seperti terjadi pada kulit hitam Amerika, banyak negara bagian tidak memberi orang-orang Indian hak pilih, memberlakukan pajak TPS kepada mereka, menerapkan tes melek huruf, melecehkan dan mengintimidasi.
Tahun 1965, Kongres menyetujui Undang-Undang Hak Pilih – Voting Rights Act (VRA), melarang praktik diskriminatif dan memberi wewenang kepada pemerintah federal untuk memantau jalannya pemilu guna menjamin pemilu berjalan adil.
Namun, tahun 2013, Mahkamah Agung menghapus ketentuan kunci dalam VRA. Akibatnya, negara-negara bagian tertentu yang memiliki sejarah diskriminasi ras, tidak lagi diharuskan mendapat izin lebih dulu dari pemerintah federal untuk membuat perubahan sistem pemilu.
Negara-negara bagian mulai mengubah aturan, dengan alasan untuk mencegah orang yang bukan warga Amerika memberikan suara. Tetapi suku Indian dan kelompok minoritas lain mengeluh kebijakan baru itu membuat mereka enggan memberikan suara.
Arizona, tempat tinggal salah satu populasi Indian terbesar, pada tahun 2014 memasukkan lebih dari 500 pemilih terdaftar suku Navajo dalam "daftar tunda" karena mereka tidak memiliki alamat yang jelas.
Memang, seperti ditulis jurnal mingguan Nation pada tahun 2012, formulir pendaftaran pemilih Arizona mencakup kotak besar yang bisa digunakan pemilih Navajo untuk menggambar lokasi rumah mereka guna menentukan di mana mereka memilih.
North Dakota, tempat tinggal sekitar lima persen populasi Indian, mengharuskan pemilih menunjukkan KTP yang mencantumkan alamat sekarang. Karena banyak orang Indian tidak memiliki KTP atau SIM, mereka tidak boleh memberikan suara. [ka/al]