Suratkabar Al Hayat, milik Arab Saudi dan berkantor di London, hari Senin (7/9) menulis Suriah dan Rusia sepakat mengaktifkan lagi perjanjian “persahabatan dan kerjasama” tahun 1980 yang berasal dari zaman Uni Soviet dulu. Langkah itu diambil menyusul pertukaran kunjungan para pejabat Suriah dan Rusia.
Harian itu mengatakan pasukan Rusia telah mengambil alih bandara Latakia dan sedang memperbaiki landas pacu dan perlengkapan di sejumlah pangkalan lain di Suriah utara.
Sejumlah laporan media lainnya mengatakan Rusia mengantisipasi pecahnya Suriah dan ingin memperkuat peran militer Suriah di wilayah yang dikuasai Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Kepada seorang wartawan di Kazakhstan, Presiden Rusia Vladimir Putin hari Jumat mengatakan negaranya hanya memenuhi kewajiban dan kesepakatan yang dibuat dulu. Rusia, katanya, juga telah lama memasok peralatan militer ke Suriah.
Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry hari Sabtu memperingatkan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov agar tidak semakin jauh terlibat dalam konflik di Suriah karena akan memperparah situasi.
Nadim Shehadi, pemimpin Pusat Issam Fares pada Fakultas Diplomasi Fletcher di Universitas Tuft, mengatakan kepada VOA bahwa Rusia memanfaatkan anggapan bahwa Amerika lemah di kawasan itu dan bertindak seperti Uni Soviet di masa lalu.
“Ada pergeseran tentang peran, relevansi, persepsi, kredibilitas dan pengaruh Amerika di kawasan itu. Amerika tidak lagi bertindak seperti negara adidaya. Jadi, Rusia ingin mengisi kekosongan itu. Mereka bertindak demikian karena yakin Amerika sama sekali tidak akan menanggapinya,” kata Nadim.
Analis Theodore Karasik di Uni Emirat Arab mengatakan Rusia “tidak hanya mengambil alih pangkalan Latakia,” tetapi juga “mengerahkan pasukan militer untuk melindungi kelompok minoritas Alawi.” Presiden Assad berasal dari sekte itu.
Menurut Karasik, “Rusia menyadari ini adalah saatnya turut campur di Suriah guna menopang rezim disana pada masa kritis.” Karasik menambahkan langkah Putin “adalah puncak diplomasi Rusia selama berbulan-bulan,” dan berbarengan dengan klaim Putin bahwa Presiden Assad “siap mengadakan pemilu parlemen.”