Neraca perdagangan Indonesia pada April lalu tercatat mengalami surplus sebesar $7,56 miliar, jauh lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya yang mencapai $4,54 miliar.
Dalam pernyataan pers yang disiarkan pada Selasa (17/5) yang diterima VOA, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kinerja positif tersebut melanjutkan surplus neraca perdagangan Indonesia yang tercatat sejak Mei 2020.
“Bank Indonesia memandang surplus neraca perdagangan itu telah berkontribusi positif dalam menjaga ketahanan eksternal perekonomian Indonesia,” tambah pernyataan itu, seraya menambahkan bahwa ke depannya Bank Indonesia akan memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas kebijakan terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Perdagangan Non-Migas Juga Melesat
Surplus neraca perdagangan yang tercatat pada April 2022 dinilai bersumber dari kenaikan surplus neraca perdagangan non-migas yang mencapai $9,94 miliar, di tengah peningkatan defisit neraca perdagangan migas. Surplus neraca perdagangan non-migas pada April meningkat dibanding jumlah surplus yang tercatat pada Maret, yang mencapai $6,62 miliar.
Perkembangan positif itu didukung oleh peningkatan ekspor non-migas dari $25,09 miliar pada Maret 2022 menjadi $25,89 miliar pada April 2022.
Peningkatan ekspor non-migas terutama bersumber dari ekspor komoditas berbasis sumber daya alam, seperti bahan bakar mineral, yang mencakup batu bara, bijih logam, serta besi dan baja yang didukung oleh harga global yang masih tinggi.
Ditinjau dari negara tujuan, ekspor non-migas ke China, Amerika Serikat, dan Jepang tetap tinggi seiring kuatnya permintaan.
Sementara itu defisit neraca perdagangan migas meningkat dari $2,09 miliarpada Maret menjadi $2,38 miliar pada April, sejalan terjadinya peningkatan impor migas yang lebih tinggi dibanding ekspor migas.
Surplus Terkait Larangan Ekspor CPO?
Kantor berita Reuters melaporkan sebagai pengekspor utama banyak komoditas seperti batu bara, minyak sawit dan nikel, Indonesia telah melaporkan surplus perdagangan setiap bulan dalam dua tahun terakhir ini; menikmati ledakan ekspor dan kenaikan harga komoditas.
Namun pemerintah Indonesia telah menghentikan ekspor minyak sawit mentah (crude plam oil) atau CPO dan beberapa produk turunannya pada 28 April lalu untuk mencoba menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, pada Selasa (17/5), mengatakan nilai pengiriman minyak sawit turun sebesar 2,6 persen pada basis bulanan April menjadi $2,99 miliar, dan 10,49 persen berdasarkan volume menjadi 1,93 juta.
Margo mengatakan tidak dapat memastikan apakah penurunan itu terkait dengan larangan ekspor CPO, namun “tentu saja jika tidak dicabut, larangan itu akan mempengaruhi neraca perdagangan kita.”
Rupiah Melemah Tipis
Nilai tukar rupiah, yang telah melemah hampir 0,3 persen menjelang dikeluarkannya data BPS tersebut, tetap tidak berubah meskipun nilai surplus perdagangan mengalami peningkatan besar. Dalam seminggu terakhir ini, nilai rupiah berada di bawah tekanan karena naiknya inflasi ke tingkat tertinggi sejak 2017 dan karena para investor berharap adanya pengetatan moneter Amerika Serikat lebih lanjut.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana mengatakan pada Reuters bahwa surplus yang cukup besar akan membantu melindungi rupiah dari dampak langkah-langkah yang diambil Bank Sentral Amerika, dan memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga dalam pertemuan kebijakan bulan depan.
Sementara itu, ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan surplus perdagangan ini diperkirakan akan menyusut Mei ini karena larangan ekspor minyak sawit. Ia menambahkan bahwa kinerja perdagangan negara itu akan terus dipengaruhi kebijakan lockdown di China dan ketegangan geopolitik di Eropa. [em/rs]