Lembaga survei “Indikator Politik Indonesia” melansir survei terbaru mengenai elektabilitas pasangan calon presiden-calon wakil presiden menjelang Pemilihan Presiden 2019. Survei ini dilakukan empat bulan menjelang berlangsungnya pesta demokrasi dilaksanakan.
Hasilnya, menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Selasa (8/1), pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin unggul 20 persen ketimbang duet Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Berdasarkan survei Indikator, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 54,9 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga 34,8 persen.
"Pak Jokowi-Kiai Ma'ruf mendapatkan perolehan 54,9 persen, sementara Pak Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kurang lebih 35 persen," ujar Burhanuddin.
Survei yang melibatkan 1.220 responden ini dilakukan di 34 provinsi dan berlangsung selama 16-26 Desember 2018. Survei dilaksanakan dengan wawancara tatap muka tersebut memiliki tingkat kepercayaan 95 persen. Responden adalah warga negara Indonesia berusia 17 tahun atau yang sudah menikah.
Burhanuddin menjelaskan survei terakhir dilakukan oleh Indikator menunjukkan pemilih tampak sudah memiliki sikap partisan, yakni dukungan terhadap salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Pemilih yang telah mempunyai sikap partisan akan terdorong untuk memperhatikan dan mempercayai informasi yang mendukung sikapnya saja.
Sebaliknya, orang yang partisan menolak dan tidak mempercayai informasi yang bertentangan dengan sikap politiknya. Orang yang partisan cenderung mendengar apa yang ingin mereka dengar dan tidak mau mendengar apa yang tidak mau mereka dengar.
"Akibatnya, orang yang partisan cenderung menerima hoaks secara parsial. Kalau hoaksnya itu mendukung sikap partisannya, dia akan setuju. Kalau hoaknya itu merugikan sikap partisannya, dia tidak akan setuju," tambah Burhanuddin.
Soal tuduhan orang tua Jokowi Kristen misalnya, hanya 20 persen yang mengetahui atau pernah mendengar kabar itu dan sisanya tidak tahu. Dari 20 persen yang mengetahui kabar itu, sebanyak 57 persen responden tidak mempercayai tudingan tersebut dan 20 persen lainnya percaya.
Terkait isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), hanya 18 persen responden yang membenarkan tentang isu ini dan 76 persen tidak sepakat. Dari 18 persen yang setuju ada kebangkitan PKI di Indonesia, 85 persennya merasa hal tersebut merupakan ancaman bagi negara.
Tentang tudingan Jokowi beretnis China, cuma 23 persen yang mengetahui hal ini dan 77 persen lainnya tidak tahu. Dari 23 persen yang tahu, 58 persen responden tidak percaya soal tuduhan itu dan 24 persen yang percaya.
Soal isu Prabowo terlibat penculikan aktivis pada 1997/1998, sebanyak 30 persen mengetahui isu ini dan 70 persen tidak tahu. Dari 30 persen yang tahu, 40 persennya percaya dan 33 persen tidak meyakini isu tersebut.
Sekjen PDI-Perjuangan Yakin Jokowi-Ma’ruf Semakin Tinggalkan Prabowo-Sandiaga
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto meyakini keunggulan elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dari duet Prabiwo-Sandiaga akan semakin jauh dengan kejutan-kejutan dan langkah-langkah yang makin terorganisir yang akan dilakukan oleh tim pemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Dari hasil survei tersebut, lanjut Hasto, pihaknya percaya media sosial menjadi variabel yang sangat penting dalam melihat perilaku pemilih. Karena itulah, kata dia, pihaknya akan memilih mengkampanyekan hal-hal positif.
"Hoaks, fitnah, hanya memperkuat militansi internal dan tidak memiliki dampak elektoral yang sangat signifikan di dalam kontestasi ini," kata Hasto.
Dengan mengkampanyekan hal-hal positif, Hasto menekankan, politik di Indonesia menjadi politik beradab.
Meski menurut hasil survei Indikator elektabilitas Jokowi makin naik, Hasto mengatakan pihaknya akan terus bekerja keras dan menghindari penyebaran informasi hoaks. Selain itu, dia menegaskan hoaks itu membawa ancaman yang jauh lebih besar dari sekadar militansi internal.
Hasto mengklaim pemilih Indonesia adalah pemilih yang cerdas. Karena itu mereka tidak akan menelan mentah-mentah informasi hoaks. Mereka memberikan dukungan setelah melakukan verifikasi karena budaya komunikasi di kalangan masyarakat sangat tinggi.
Hapus Hoaks, Mardani Ali Sera Usul Konpers Bersama Jokowi-Prabowo
Politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menegaskan hoaks itu adalah penyakit karena itu tidak dapat dibiarkan dan bahkan bisa disebut sebagai kanker dalam demokrasi. Dia menegaskan tidak ada kebaikan dalam demokrasi yang dibangun dengan hoaks.
Karena itu, lanjut Mardani, sangat penting untuk meningkatkan literasi di kalangan elite dan rakyat, serta pendekatan hukum yang adil dan transparan.
"Kedua belah pihak mesti melakukan edukasi publik. Saya mungkin berkepentingan menyampaikan kepada Pak Prabowo, Mas Hasto mungkin kepada Pak Jokowi, nanti saat debat pertama bab hoaks ini perlu mendapatkan tekanan. Karena keseluruhan diksi yang substansial menjadi hilang ketika yang muncul emosi-emosi berbasis hoaks," ujar Mardani.
Untuk mengatasi perpecahan dalam masyarakat, ia mengusulkan konferensi pers bersama antara Jokowi dan Prabowo untuk menjelaskan soal informasi-informasi hoaks yang menyangkut pribadi kedua tokoh tersebut.
Pilihan Politik Tentukan Cara Bermedia
Pakar komunikasi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Kuskridho Ambardi, menjelaskan pilihan politik yang menentukan cara seseorang bermedia: pencarian informasinya, pemilihan media sosialnya, dan sebagainya. Dia menilai logika sebagian tim sukses di kubu oposisi dan petahana ada yang terbalik.
Ambardi menegaskan jadi bukan media sosial yang membentuk pilihan politik pemilih, tetapi pilihan politik pemilih membentuk perilaku bermedia sosial.
"Yang terjadi sebetulnya audiens itu aktif, cuma aktifnya ini ada dua jenis. Yang satu sudah partisan dulu sehingga aktif mencari media yang cocok dengan pandangannya, yang cocok dengan pilihannya. Yang terjadi kemudian mereka memilih informasi yang cocok dengan pandangannya, yang cocok dengan pilihan politiknya," tukas Ambardi.
Ditambahkannya, kalau selama ini tim sukses mencurahkan uang, energi, dan waktu untuk berdebat di media sosial, itu sebenarnya adalah dakwah terhadap kawan sendiri bukan pada lawan. [fw/em]