Tautan-tautan Akses

Survei: Kebanyakan Atlet Muda Australia Setuju Manfaatkan Olimpiade Sebagai Ajang Protes


Komite Olimpiade Internasional (IOC) tengah mempertimbangkan apakah akan merevisi larangan pemanfaatan Olimpiade itu sebagai ajang propaganda politik, agama dan ras. (Foto: ilustrasi).
Komite Olimpiade Internasional (IOC) tengah mempertimbangkan apakah akan merevisi larangan pemanfaatan Olimpiade itu sebagai ajang propaganda politik, agama dan ras. (Foto: ilustrasi).

Sebuah survei di Australia menunjukkan, kebanyakan atlet muda Australia yang pernah dan akan bertanding di Olimpiade tidak keberatan menggunakan pesta olahraga bergengsi itu sebagai ajang demonstrasi.

Survei terhadap 496 atlet Olimpiade di negeri Kanguru itu merupakan bagian dari hasil riset Komite Olimpiade Internasional (IOC) menjelang penyelenggaraan Olimpiade Tokyo tahun 2021. Australia termasuk negara pertama yang menyelesaikan survei itu.

Survei itu sendiri dilakukan karena IOC sedang mempertimbangkan apakah akan merevisi peraturan yang berlaku selama ini, yang melarang pemanfaatan pertandingan olahraga internasional itu sebagai ajang propaganda politik, agama dan ras.

Peraturan IOC yang dikenal sebagai Rule 50.2 itu belakangan ini banyak mendapat sorotan setelah gerakan global "Black Lives Matter" meraih momentum baru, menyusul insiden kematian pria kulit hitam Amerika bernama George Floyd di tangan polisi kulit putih.

Sementara mayoritas atlet mendukung gagasan memanfaatkan Olimpiade sebagai ajang protes, sekitar 80 persen di antara mereka juga mengakui bahwa aksi protes bisa mengganggu kinerja atlet dan pengalaman Olimpiade mereka.

Tim Australia pada upacara pembukaan Olimpiade Musim Panas 2016 di Rio de Janeiro, Brasil, 5 Agustus 2016.
Tim Australia pada upacara pembukaan Olimpiade Musim Panas 2016 di Rio de Janeiro, Brasil, 5 Agustus 2016.

Steve Hooker, ketua Komisi Atlet Olimpiade Australia, mengatakan, ada perbedaan pandangan yang kontras antara atlet Olimpiade 1950-an dan atlet yang akan beraksi di Olimpiade Tokyo.

Lebih dari 85 persen responden yang bertanding pada 1950-an menjawab “tidak” ketika ditanya; “Setujukah bila Olimpiade digunakan sebagai ajang bagi atlet untuk mengekspresikan pandangan mereka soal politik, agama, seksualitas, rasisme, gender, bentuk-bentuk diskriminasi lain atau masalah-masalah lain?”

Ketika pertanyaan serupa diajukan kepada para atlet Olimpiade yang jauh lebih muda, yang mulai ikut bertanding sejak 2010, 34 persen responden menjawab “ya”, dan 47 persen menjawab “ya” namun dengan sejumlah ketentuan. Hanya 19 persen di antara mereka yang menyatakan, pesta olahraga bergengsi tersebut tidak boleh dimanfaatkan sebagai ajang protes. [ab/uh]

XS
SM
MD
LG