Mayoritas warga Indonesia mengetahui konflik Israel-Palestina dan menganggap Israel adalah pihak yang bersalah dalam konflik yang meningkat beberapa waktu terakhir ini. Hal tersebut terlihat dari hasil survei yang dilakukan SMRC terhadap 1.201 responden pada 25-28 Mei 2021 dengan tingkat kesalahan kurang lebih 2,9 persen.
Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando mengatakan dari 88 persen responden yang mengetahui konflik ini, 71 persen di antaranya menilai Israel sebagai pihak yang salah. Sedangkan 3 persen lainnya menilai Palestina bersalah, 5 persen keduanya bersalah dan 21 persen tidak menjawab.
"Enam puluh lima persen artinya mayoritas setuju ini adalah pertentangan antara Yahudi dengan Islam. Jadi bukan dengan Israel dengan Palestina. Israel diwakili Yahudi dan Palestina diwakili Islam," jelas Ade Armando dalam konferensi pers daring, Senin (31/5).
Ade Armando menambahkan terlihat perbedaan antara warga Muslim dan warga non-Muslim dalam memandang Israel sebagai pihak yang bersalah. Sekitar 74 persen warga Muslim menilai Israel sebagai pihak yang bersalah, sedangkan non-Muslim 51 persen.
Kendati demikian, hasil survei menunjukkan sikap masyarakat Indonesia terbelah dalam memandang jalan keluar konflik antara Israel-Palestina. Sebanyak 35 persen setuju kedua negara harus diakui dan hidup berdampingan. Sementara 41 persen setuju bahwa negara Israel tidak boleh diakui karena berdiri di atas tanah Palestina.
“Data menunjukkan mereka yang mendukung perdamaian dengan solusi dua negara hidup berdampingan masih lebih rendah dibandingkan mereka yang menganggap Israel harus diusir dari Palestina, seperti sikap Hamas selama ini,” ujar Ade.
Pemikir Islam Akhmad Sahal menyoroti temuan survei yang menunjukkan 65 persen warga menilai konflik ini sebagai konflik antara Yahudi-Islam atau sebagai konflik agama. Menurutnya, kondisi ini menjadi hambatan dalam upaya perdamaian antara Israel dan Palestina.
"Lebih pelik bahwa di kalangan Israel atau Yahudi sendiri juga terjadi hal serupa yaitu religionisasi konflik, di dalam melihat konflik Israel-Palestina," tutur Akhmad Sahal.
Sahal menuturkan terdapat ayat-ayat dalam kitab suci yang dapat dijadikan contoh perdamaian antara Yahudi dengan Islam. Semisal Piagam Madinah yang di dalamnya terdapat unsur dari Yahudi.
Ketua Komisi Hubungan Antaragama Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Martin Lukito Sinaga memiliki padangan senada. Ia menyesalkan konflik Israel-Palestina yang semakin mengarah kepada agama. Kendati demikian, ia menilai ada peluang untuk mencari solusi-solusi dengan pendekatan di luar agama.
Itu terlihat dari hasil survei yang menunjukkan mayoritas dari warga non-Muslim (56 persen) memilih opsi mengakui keberadaan kedua negara. Kata dia, hal ini dapat diartikan masih ada warga non-Muslim yang memilih jalan damai dalam penyelesaian masalah.
"Jadi sebenarnya ada keyakinan sekuler (baca: tidak berpatokan pada agama) untuk mengatasi masalah. Bukan keyakinan perang habis-habisan, kiamat, atau Allah bertindak untuk menyelesaikan masalah, tapi dua negara hidup berdampingan," jelas Martin Lukito Sinaga.
Lukito berharap umat beragama lain juga dapat mengidentifikasi persoalan dengan jelas dan sesuai keadaaan di lapangan tanpa membawa agama dalam konflik Israel-Palestina. Harapannya generasi baru mendatang dapat mencari solusi bersama dengan cara yang damai dan isu di lapangan seperti persoalan ekonomi dan air. [sm/ab]