Hak angket yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) menuai kontroversi. Sebagian mendukung namun lebih banyak yang menolak.
Hal ini sesuai dengan hasil survei nasional yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Penelitian itu dilakukan bulan lalu dengan 1.350 responden dipilih secara acak dan margin of eror 2,5 persen.
Dalam jumpa pers di kantornya, Jumat (16/6), Direktur Program SMRC Sirojuddin Abbas menjelaskan sebagian besar rakyat Indonesia menolak penggunaan hak angket DPR untuk KPK. Angkanya sekitar 65 persen menentang dan hanya 30 persen yang setuju.
Lebih lanjut Sirojuddin mengatakan di kalangan mereka yang menolak penggunaan hak angket tersebut, mayoritas (51,6 persen) menganggap hak itu digunakan DPR untuk melindungi anggota DPR dari proses hukum KPK.
Menurut Sirojuddin, hasil penelitian SMRC menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepercayaan terhadap DPR. Lebih dari 64 persen warga menyatakan lebih percaya pada KPK ketimbang DPR .
Sirojuddin menambahkan kebanyakan rakyat Indonesia (62,8 persen) mengetahui kasus dugaan korupsi e-KTP, hanya 37,2 persen yang tidak tahu atau tidak menjawab.
“Kita tanya warga itu apakah Bapak yakin atau tidak yakin anggota DPR dan pejabat itu terlibat kasus korupsi tersebut. Nah 53,8 atau 54 persen mengatakan yakin anggota DPR dan pejabat Kemendagri itu korupsi,” kata Sirojuddin
Yang menyatakan tidak yakin hanya 9,1 persen, 37,1 persen tidak tahu atau tidak jawab. Temuan ini menunjukkan mayoritas warga Indonesia merasa yakin anggota DPR dan pejabat pemerintahan terlibat dalam kasus korupsi tersebut.
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mencurigai penggunaan hak angket atas KPK itu untuk kepentingan partai politik atau elite partai politik yang sedang tersangkut kasus korupsi. Dia menilai hak angket tersebut termasuk di antara upaya untuk melemahkan KPK.
“Jadi ada semangat hak angket ini lebih menghambat proses penanganan kasus atau melindungi rekan sejawat. Kemudian mendelegitimasi KPK atau membuat malu KPK, dan yang ke-tiga itu mencari pembenar untuk membuat revisi undang-undang KPK a,b,c..,” jelas Emerson.
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menegaskan sejak awal partainya menolak penggunaan hak angket DPR untuk KPK. Bahkan PSI juga menolak revisi Undang-undang tentang KPK dan beragam upaya yang mengurangi kewenangan lembaga antirasuah tersebut.
“Dari segi administratif (pengguliran hak angket) cacat sekali. Harus aklamasi atau voting untuk menggulirkan hak angket. Ini tidak dilakukan karena dilakukan pengambilan keputusan secara sepihak oleh Fahri Hamzah. Dari segi panitia pembentukan hak angket, harusnya sepuluh fraksi juga tidak terpenuhi. Masih tujuh (fraksi) hingga saat ini. Dari segi subjek salah sasaran juga. Sasaran hak angket itu harusnya kebijakan pemerintah tetapi KPK ini lembaga penegakan hukum yang independen,” ungkap Grace.
Menurut Sirojuddin, hasil survei ini selayaknya memperoleh perhatian anggota DPR. Alasannya, nasib partai politik di DPR ditentukan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dia menambahkan dalam kasus hak angket untuk KPK, DPR ternyata tidak mewakili aspirasi atau kepentingan rakyat. [fw/uh]