Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mewakili negaranya dalam melakukan pembelaan di Mahkamah Internasional (IJC) di Den Haag atas tuduhan bahwa Myanmar melangsungkan genosida terhadap kelompok Muslim Rohingya.
Peraih Nobel Perdamaian itu, Rabu (11/12), berdiri di hadapan pengadilan PBB tersebut dan menegaskan kembali klaim pemerintahnya bahwa militer hanya menarget militan Rohingya yang menyerang pos-pos keamanan di negara bagian Rakhine pada Agustus 2017. Ia hadir di hadapan Mahkamah itu dalam kapasitas resminya sebagai menteri luar negeri Myanmar.
Militer Myanmar melancarkan operasi bumi hangus sebagai tanggapan terhadao serangan-srangan itu, sehingga memaksa lebih dari 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangganya, Bangladesh. Sebuah penyelidikan PBB menyimpulkan bahwa operasi itu dilangsungkan dengan niat melakukan genosida.
Penyelidikan itu sendiri dilakukan dengan memawancara banyak penyintas insiden itu. Para penyintas mengungkapkan berbagai cerita mengenai pembantaian, eksekusi tanpa proses hukum, pemerkosaan beramai-ramai, dan pembumi hangusan desa-desa Rohingya.
Kasus terhadap Myanmar diajukan ke IJC oleh negara kecil di Afrika Barat, Gambia, yang mewakili Organisasi Kerjasam Islam yang beranggotakan 57 negara. Pada sidang pembukaan, Selasa (10/12), para pengacara Gambia membeberkan sejumlah aksi keji yang dilakukan militer Myanmar selama aksi penumpasan terhadap Rohingya.
Dalam pernyataan pembukaannya, Aung San Suu Kyi menyebut tuduhan yang disampaikan Gambia menyesatkan.
Menteri Kehakiman Gambia, Abubacarr Tambadou mengatakan kepada wartawan, Selasa (10/12), ia ingin IJC mengeluarkan perintah untuk mengambil langkah--langkah khusus untuk melindungi Rohingya hingga kasus genosida didengar sepenuhnya di pengadilan PBB itu. [ab/uh]