Dua puluh tahun lalu, tepatnya pada 20 April 1999, dua siswa melakukan penembakan membabi-buta di sekolah mereka; menewaskan 13 orang dan melukai lebih dari 20 lainnya. Pembantaian di SMA Columbine di dekat Denver, Colorado ini adalah penembakan pertama di sekolah yang menimbulkan paling banyak korban dan menghenyakkan Amerika. Banyak penyintas penembakan itu yang menderita masalah kesehatan mental serius setelah insiden itu dan hingga kini masih berjuang mengatasi stress pasca trauma PTSD dan gangguan kecemasan lainnya.
“Saya selalu mengingat dengan rinci apa yang terjadi hari itu. Hampir seperti menyaksikannya di layar televisi.”
Demikian Austin Eubanks, penyintas penembakan di SMA Columbine di Denver, Colorado. Ia selamat dalam insiden penembakan yang menelan paling banyak korban dalam sejarah Amerika ketika itu, tetapi tidak berarti insiden itu tidak menimbulkan dampak apapun.
Mantan kepala sekolah SMA Columbine Frank DeAngelis mengatakan, “Saya bertemu dengan laki-laki bersenjata itu dalam jarak sekitar 91 meter ketika ia mulai melepaskan tembakan, yang salah satu di antaranya melintas tepat di depan saya.”
“Satu atau dua siswi berteriak, ada orang di luar dan mereka bersenjata.”
Demikian Samantha Haviland, salah seorang penyintas lainnya. Sementara Paula Reed yang mantan guru di SMA Itu mengenal bagaimana para siswa lari lintang pukang sambil berteriak “ia bersenjata. “Saya sempat tidak mempercayai mereka.”
Banyak Korban Selamat di Columbine Menderita PTSD, Bahkan Hingga Bertahun-tahun Kemudian
Penembakan membabi-buta itu terjadi pada 20 April sekitar jam 11.19 pagi. Dua remaja mulai menembaki teman-teman mereka di luar SMA Columbine dan kemudian bergerak ke perpustakaan di mana mereka menembaki banyak korban sebelum akhirnya bunuh diri.
Begitu keterkejutan dan ketidakpercayaan atas pembantaian itu mereda, mereka yang selamat mengalami gejala stress pasca trauma PTSD, termasuk rasa bersalah.
Kepala SMA Columbine Frank deAngelis ketika itu langsung mengupayakan bimbingan konseling.
“Saya merasa sangat bersalah. Mereka adalah anak-anak saya. Saya kepala sekolah disana. Mereka datang ke sekolah, lokasi yang seharusnya aman. Saya seharusnya melindungi mereka,” katanya.
“Tahun ketiga pasca insiden itu, saya selalu menderita gatal-gatal setiap kali masuk ke sekolah itu. Rambut saya pun rontok,” ungkap Paula.
Ketika konseling tidak membantu, guru bahasa Inggris Paula Reed mengambil cuti selama dua tahun dan mulai menulis buku roman sejarah.
“Saya memilih fiksi sejarah karena pada abad ke-17 tidak ada yang menyerupai penembakan di sekolah sehingga ini cara yang sangat baik untuk menjaga jarak dengan masa kini. Yang saya butuhkan adalah istirahat penuh dan membuat dunia yang sama sekali berbeda,” imbuhnya.
Samantha Haviland, yang kini menjadi direktur konseling di badan sekolah publik di Denver, baru berusia 16 tahun ketika insiden Columbine terjadi. Ia tidak mengikuti konseling hingga sepuluh tahun kemudian ketika ia tidak dapat mengendalikan diri dalam sebuah latihan menghadapi penembakan di sekolah atau dikenal sebagai “lockdown drill” di sekolah di mana ia bekerja sebagai penasehat.
“Dua anak laki-laki yang tidak saya kenal berupaya membunuh saya berulangkali dalam waktu singkat. Saya tidak dapat membiarkan hal itu mengubah saya dalam hal apapun. Itu persoalan mereka. Itu bukan persoalan saya,” ujar Samantha.
Ketidakmampuan Atasi PTSD Picu Masalah Lebih Besar
Psikolog Dr. Donald Freedheim mengatakan “realitas penembakan di sekolah dapat benar-benar sangat traumatis dan bagaimana cara mengatasi hal itu akan menentukan kehidupan penyintas di masa depan.”
Ketidakmampuan mengatasi PTSD itu menimbulkan dampak serius pada Austin Eubanks. Ia ditembak di SMA Columbine dan melihat sahabatnya tewas. Ketika itu ia baru berusia 17 tahun. Dalam masa
penyembuhannya ia menyalahgunakan narkoba, yang kemudian membuatnya harus menjalani terapi ketergantungan narkoba selama lebih dari sepuluh tahun.
Banyak hal dapat memicu para penyintas kembali ke titik nol dan membutuhkan bantuan lagi. Seperti penembakan di SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida, yang menewaskan 17 siswa dan guru.
“Saya harus minum Lorazepam dan tidak pergi ke sekolah keesokan hari setelah mendengar kabar penembakan di Parkland. Saya tidak dapat menguasai diri saya,” tambah Paula.
Paula Reed dan mantan kepala sekolah Frank DeAngelis kini membantu para penyintas penembakan di sekolah.
“Orang yakin suatu hari nanti semua akan baik-baik saja dan normal. Padahal tidak demikian! Kita harus mendefinisi ulang situasi yang saat ini dianggap normal." pungkasnya. (em)