Tujuh tahun lalu, kelompok teror yang menamakan diri Negara Islam (ISIS) mengamuk di kota Sinjar, Irak utara, dan membunuh ribuan pria Yazidi dan memaksa wanita muda kelompok minorits itu menjadi budak seks.
PBB menyebut serangan gencar itu sebagai kampanye genosida.
Lamiya Haji Bashar adalah salah seorang gadis yang ditangkap oleh militan ISIS pada tahun 2014. Ketika itu dia berusia 16 tahun. Dia memenangkan Hadiah Sakharov, yang diberikan oleh Parlemen Eropa kepada orang atau kelompok yang memperjuangkan hak asasi manusia (HAM).
“Tujuh tahun telah berlalu, dan tuntutan kami belum juga dipenuhi. Sinjar belum dibangun kembali untuk memungkinkan orang kembali. Orang-orang sudah bosan tinggal di tenda-tenda. Banyak gadis, wanita, dan anak-anak kami belum diselamatkan dari ISIS. Dan tidak ada anggota ISIS yang dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan mereka,” ungkapnya.
Lamiya Haji Bashar berhasil melarikan diri dari tahanan ISIS pada 2016. Meskipun kekhalifahan kelompok teror itu tidak ada lagi, kelompok-kelompok HAM mengatakan hampir 2.600 wanita dan gadis Yazidi masih hilang.
Selain itu, sekitar 200.000 orang Yazidi masih mengungsi di Irak utara, banyak dari mereka tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak.
Knox Thames bekerja di United States Institute of Peace atau Institut Perdamaian Amerika Serikat, suatu lembaga federal yang bertugas untuk mempromosikan resolusi dan pencegahan konflik di seluruh dunia. “Tujuh tahun adalah waktu yang terlalu lama bagi orang-orang yang menjadi sasaran genosida untuk terus tinggal di tenda-tenda. Kita harus melakukan yang lebih baik, dan kita membutuhkan seluruh komunitas internasional untuk bermitra dengan pemerintah Irak untuk memastikan terjadinya perubahan,” ujarnya.
Parlemen Irak meloloskan undang-undang tahun ini untuk memberikan kompensasi kepada para perempuan Yazidi yang selamat. Tetapi banyak penyintas mengatakan sedikit yang telah dilakukan untuk mengatasi kekhawatiran mereka.
Hala Safil adalah salah seorang korban kekejaman ISIS. “Setiap tahun kami mendengar janji yang sama, tetapi tidak ada yang berubah bagi kami. Mereka mengatakan ISIS tidak ada lagi. Jika demikian, lalu di mana orang-orang kami yang hilang? Parlemen mengesahkan undang-undang tentang para penyintas Yazidi. Tapi, di mana implementasinya? Kami butuh tindakan.”
Para ahli mengatakan meminta pertanggungjawaban pelaku kekerasan harus menjadi langkah pertama, seperti diutarakan oleh Jeremy Baker dari Religious Freedom Institute atau Lembaga Kebebasan Beragama yang berbasis di Washington, D.C.
“Di Irak, mekanisme penuntutan yang berarti yang memberi tahu komunitas Yazidi dan para penyintas lain dari kekejaman belum dilakukan. Permintaan pertanggungjawaban atas kekejaman yang diakui telah dilakukan terhadap mereka dan komunitas mereka belum ditangani,” kata Baker.
Namun, untuk saat ini, masa depan bagi para penyintas Yazidi dan komunitas pengungsi mereka belum ada kepastian. [lt/jm]