Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan sisa-sisa kerangka manusia purba (hominini) kecil yang sebelumnya tidak diketahui, diekskavasi oleh tim gabungan arkeolog Indonesia dan Australia dari Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
BRIN mengumumkan perkembangan itu dalam peringatan 20 tahun penemuan Homo Floresiensis di situs Liang Bua, yang digelar baru-baru ini.
Hominini kecil itu ditemukan kira-kira enam meter di bawah lantai gua, sisa-sisa kerangka menunjukkan morfologi yang sangat primitif, bersama dengan sejumlah besar artefak batu dan sisa-sisa fauna Pleistosen, seperti gajah purba kerdil yang telah punah (Stegodon florensis insularis), komodo (Varanus komodoensis), bangau raksasa yang endemik (Leptoptilos robustus), burung nasar (Trigonoceps sp.), dan tikus raksasa (Papagomys sp.).
Pleistosen adalah suatu kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 2.588.000 hingga 11.500 tahun yang lalu.
Pada 2004, spesimen manusia purba ini dipublikasikan sebagai spesies baru, yang disebut Homo floresiensis dan diberi julukan “Hobbit”.
Spesies manusia purba ini hidup dan menghilang dari Liang Bua sekitar 100.000 hingga 60.000 tahun yang lalu, diikuti oleh beberapa letusan gunung berapi sekitar 50.000 tahun yang lalu. Peristiwa letusan ini juga menandai periode pertama kali manusia modern muncul, sekitar 46.000 tahun yang lalu, yang kemudian terus memanfaatkan gua tersebut hingga saat ini.
Salah seorang arkeolog penemu fosil Homo Floresiensis, Thomas Sutikna mengatakan 20 tahun setelah penemuan itu masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan seperti mengungkap ancient DNA (Asam deoksiribonukleat) atau DNA purba untuk mendapatkan data genetika manusia purba tersebut.
“Karena kalau kita punya DNA, ya jelas kita enggak kesulitan untuk mengenai genetiknya. Jadi, kita tidak ada lagi perdebatan ini siapa, ini masuk ke pohon evolusi di mana. Sehingga kita berharap dalam waktu yang akan datang, kita bisa mengekstrak itu,” kata Thomas Sutikna dalam acara peringatan 20 tahun penemuan Homo Floresiensis di kawasan Sains Raden Panji Soejono, Jakarta, pekan lalu.
Thomas menjelaskan Homo Floresiensis memiliki ciri-ciri manusia purba awal seperti volume otaknya yang cukup kecil, hanya sekitar 400 cc, kemudian tingginya hanya sekitar 110 centimeter.
“Demikian juga terhadap kajian-kajian yang baru-baru ini kita lakukan, terhadap pergelangan tangan, pergelangan kaki, memang menunjukkan ciri-ciri yang cukup berbeda dengan manusia modern, dan juga berbeda dengan Homo erectus. Sehingga sejauh ini kita meletakkan Homo floresiensis pada spesies tersendiri,” jelas Thomas.
Pekerjaan rumah lainnya adalah mengungkap bagaimana fenomena iklim di masa lampau yang membuat manusia purba Homo Floresiensis dapat bertahan lebih lama dibanding manusia purba lainnya.
“Artinya gini, sebenarnya situasi yang bagaimana sih, kok manusia purba juga kita temukan di sana, bisa survive sampai demikian mudanya. Enam puluh ribu tahun bagi manusia purba itu cukup membuat kita bingung, kok mereka bisa survive. Sementara, di sangiran 100-200 ribu tahun yang lalu sudah enggak ada lagi,” ungkap Thomas.
Pertanyaan lain yang perlu dijawab, menurut Thomas, adalah mengungkap bagaimana Homo Floresiensis bermigrasi hingga sampai di Flores.
Penelitian di Liang Bua Belum Tuntas
Wahyu Saptomo dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), yang sekaligus salah seorang penemu fosil Homo Floresiensis, mengatakan penelitian di Liang Bua belum tuntas sehingga masih perlu dilanjutkan yang menekankan pada penelitian lingkungan dan formasi gua.
“Dan penggunaan teknologi modern saya kira sangat membantu untuk mengungkap misteri Liang Bua ini supaya lebih banyak informasi yang bisa diperoleh. Juga kita perlu adanya situs-situs tambahan sebagai situs pembanding. Mungkin bisa di sekitar Manggarai Barat atau di sisi utaranya,” kata Wahyo Saptomo.
Gua alam Liang Bua terletak di daerah perbukitan kapur di wilayah Kabupaten Manggarai, Flores di ketinggian 500 meter diatas permukaan laut. Situs itu dinilai sangat ideal untuk pemukiman masa prasejarah.
Memiliki ukuran panjang sekitar 50 meter, lebar sekitar 40 meter dan tinggi atap bagian dalam 25 meter, secara fisik gua Liang Bua sangat menarik untuk gua tempat tinggal. Hal ini didukung dengan sirkulasi udara serta sinar matahari yang menyinari gua sepanjang tahun. Lokasi gua juga dekat dengan sungai yang jaraknya saat ini sekitar 200 meter dari gua Liang Bua.
Situs Liang Bua disebut juga berada dalam wilayah yang disebut dengan ekoton, yakni perpaduan antara lingkungan yang berbeda antara lingkungan pegunungan dengan dataran rendah, sehingga sangat memungkinkan berbagai makhluk hidup khususnya binatang dan tanaman di daerah yang lebih tinggi juga bisa hidup dengan baik bercampur dengan berbagai jenis tanaman maupun binatang dari lingkungan yang berada pada dataran rendah. [yl/em]
Forum