Seperempat abad tragedi berdarah Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh Utara, Provinsi Aceh, telah berlalu. Namun, pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak-hak para korban tragedi tersebut. Murtala, seorang penyintas tragedi Simpang KKA Aceh, menyatakan bahwa belum terwujudnya pemenuhan hak korban dan keluarga mereka merupakan bukti kelalaian negara.
“Jangankan untuk pembangunan sebuah museum yang diharapkan oleh para korban. Untuk pemberdayaan ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan jaminan hidup para korban serta keluarga korban Simpang KKA saja belum,” kata Murtala kepada VOA, Sabtu (4/5).
Tragedi Simpang KKA adalah sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang berlangsung saat konflik Aceh pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Provinsi Aceh. Saat itu pasukan militer menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa lantaran adanya insiden penganiayaan warga yang terjadi pada 30 April 1999 di Cot Murong, Lhokseumawe.
Sedikitnya 21 orang meninggal dunia dan kurang lebih 146 orang mengalami luka-luka atas tragedi berdarah itu. Namun sampai sekarang belum ada penyelesaian hukumnya.
Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menetapkan tragedi Simpang KKA sebagai salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Tanah Air. Pemerintah juga menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM). Lalu, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM yang dibentuk oleh Presiden Jokowi telah melakukan verifikasi ulang terhadap data korban dan keluarga korban dari pelanggaran HAM berat dalam tragedi tersebut. Namun, disayangkan bahwa pemulihan hak-hak para korban tragedi Simpang KKA hanya diberikan kepada sepuluh orang saja.
“Pasca kick-off (penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat) di Reumoh Geudong itu hanya 10 orang korban tragedi Simpang KKA yang sudah mendapat layanan pemulihan. Namun hingga hari ini kami yang sudah diambil pernyataan replikasi data oleh PPHAM sampai sekarang belum mendapatkan program pemulihan sesuai Keppres dan Inpres yang telah diterbitkan,” ungkap Murtala.
Murtala menjelaskan para korban lainnya yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA) masih terus menanti kebenaran dan keadilan di ujung masa jabatan Jokowi. Mereka berharap ada penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang adil dan bermartabat tanpa janji-janji serta berpihak kepada para korban dan keluarga korban.
“Hingga hari ini selain 10 orang itu belum dilakukan apa-apa pemerintah sampai sekarang. Makanya kami menagih janji kepada Presiden Jokowi pasca kick off di Reumoh Geudong. Jangan cuma buat Keppres dan Inpres, tapi harus ada tindak lanjut kalau memang keinginan pemerintah untuk memulihkan kami para korban,” jelasnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, menilai 25 tahun tragedi Simpang KKA menjadi refleksi bahwa negara masih abai dalam pemenuhan hak korban terutama hak atas kebenaran.
“Mekanisme pengadilan itu seharusnya diwujudkan dalam kenyataan. Tapi sampai sekarang dua tahun setelah keppres dan inpres itu belum ada titik terang,” katanya kepada VOA.
Husna berpendapat bahwa pemulihan hak-hak para korban pelanggaran HAM berat harus tetap berlanjut meskipun masa jabatan Jokowi akan segera berakhir. Hal ini karena masih ada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat yang belum mendapatkan pemulihan hak mereka sepenuhnya.
“Jika selesai itu harus ada indikatornya, sehingga bukan program sekali saja. Ini yang terjadi tampaknya belum ada berkesinambungan. Pemulihan hak para korban pelanggaran HAM masa lalu harus dilanjutkan. Jadi, tidak berhenti di masa pemerintahan Jokowi karena titik selesainya belum ada. Belum semua korban mendapatkan pemulihan. Itu harus dituntaskan,” ucapnya.
KontraS Aceh juga menilai jika pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan secara berkeadilan dan tanpa pengungkapan kebenaran, maka itu akan melanggengkan impunitas.
“Adanya PPHAM itu semakin mengaburkan siapa pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu karena di dalamnya tertulis orientasi fokus pemerintah hanya pada peristiwa bukan ke pelakunya. Jadi peristiwa dan pemulihan korban saja, tapi negasi (peniadaan) pelaku,” tandas Husna. [aa/ah]
Forum