Militer Taiwan mengakhiri latihan dua hari di laut dan udara pada hari Rabu (31/1) untuk berlatih bertahan melawan serangan mendadak China. Para jurnalis mengamati latihan tersebut dari sejumlah speedboat yang mengawal sebuah kapal peletak ranjau.
“Setiap tindakan irasional sepihak dapat dengan mudah meningkatkan ketegangan dan menyabotase stabilitas di kawasan Selat Taiwan,” kata Mayjen Sun Li-fang, juru bicara Kementerian Pertahanan Taiwan, kepada wartawan di Pangkalan Angkatan Laut Tsuoying di Taiwan Selatan.
China mengklaim pulau berpenduduk 23 juta jiwa itu sebagai wilayahnya dan mengatakan pulau itu harus berada di bawah kendali Beijing.
Kementerian Pertahanan Taiwan, dalam laporan hariannya, mengatakan bahwa tujuh pesawat tempur China dan empat kapal angkatan laut terdeteksi di sekitar pulau itu dalam periode 24 jam yang berakhir pada pukul 6 pagi pada hari Rabu. Ia juga melaporkan adanya balon China di lepas pantai utaranya.
Latihan tahunan ini dilakukan kurang dari tiga minggu setelah rakyat Taiwan memilih Lai Ching-te sebagai presiden berikutnya, memberikan masa jabatan empat tahun ketiga berturut-turut kepada Partai Progresif Demokratik yang berhaluan independen, yang ditentang oleh China.
Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pulau tersebut untuk mempertahankan diri.
Meskipun militernya kalah telak dibandingkan China, Taiwan telah membeli persenjataan berteknologi tinggi dari Amerika Serikat, merevitalisasi industri senjata dalam negerinya, dan memperpanjang masa wajib militer dari empat bulan menjadi satu tahun.
Tanda lain dari ketegangan di Selat Taiwan adalah pemerintah pulau itu melakukan protes pada hari Selasa setelah otoritas penerbangan China mengumumkan perubahan rute penerbangan pesawat-pesawat penumpang yang menuju selatan, yang diperkirakan akan membawa pesawat-pesawat itu lebih dekat ke pantai Taiwan.
Taiwan pertama kali menyatakan keberatan atas jalur penerbangan tersebut ketika baru dibuka pada tahun 2015, dengan alasan masalah keamanan dan kedaulatan udara, dan China setuju untuk memindahkan rute tersebut lebih dekat sejauh 11 kilometer ke sisi China. Namun Administrasi Penerbangan Sipil China mengatakan akan membatalkan keputusan tersebut mulai Kamis.
Administrasi Penerbangan Sipil Taiwan memprotes keras tindakan tersebut, yang dikatakannya “secara terang-terangan bertentangan dengan konsensus yang dicapai antara kedua belah pihak … pada tahun 2015,” menurut media Taiwan.
Juru bicara pemerintah China menyebut perubahan tersebut merupakan hal yang rutin dan dimaksudkan untuk memudahkan lalu lintas udara dan menjamin keselamatan penerbangan di koridor penerbangan yang padat. [ab/uh]
Forum